Sunday 17 December 2017

KARYA TULIS ILMIAH (KTI) / MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP), Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) GRADE 2


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) menjadi masalah bagi kebanyakan kaum pria yang berusia diatas 50 tahun. BPH pada pria muncul tanpa ada gejala awal terlebih dahulu, sehingga seringkali pasien tidak menyadari bahwa mereka menderita BPH. Jika dilihat secara epidemiologinya dan dikelompokkan menurut usia, maka dapat dilihat kadar insidensi BPH. Pada usia 40-an, kemungkinan seseorang itu menderita penyakit BPH adalah sebesar 40%. Setelah meningkatnya usia, yakni dalam rentang usia 60 hingga 70 tahun, persentasenya meningkat menjadi 50%. Sedangkan diatas 70 tahun, persentase menderita BPH dapat mencapai 90% (A. K. Abbas, 2005).
Prevalensi meningkatnya penderita BPH sejalan dengan peningkatan usia pada pria dan insiden pada negara berkembang meningkat karena adanya peningkatan umur harapan hidup (Mansjoer, 2000). Berkembangnya sebuah negara dapat meningkatkan usia harapan hidup yang secara tidak langsung kadar penderita BPH secara pastinya turut meningkat (Furqan, 2003). Begitu pula dengan Indonesia yang kini semakin hari semakin maju dan berkembang. Pasien BPH bergejala di indonesia yang berjumlah sekitar 80.000 pada tahun 1991, diperkirakan akan meningkat menjadi satu setengah kalinya pada tahun 2031 (Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2000).
Menurut Smeltzer (2001), BPH merupakan kondisi patologis yang paling lazim pada usia lansia dan merupakan penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria diatas 60 tahun. Pada kasus yang sudah banyak terjadi, BPH mempunyai angka morbiditas yang bermakna pada populasi usia lanjut. Gejalanya merupakan keluhan yang umum dalam bidang bedah urologi. Apa bila pasien dengan BPH tidak segera ditangani, maka kemungkinan tanda dan gejalanya akan berubah menjadi kanker prostat.
Dalam menangani kasus BPH, dapat dilakukan  berbagai tindakan dari yang paling ringan yaitu secara konservatif (non operatif) sampai tindakan yang paling berat yaitu operasi. Penatalaksanaan medis dengan tindakan operasi pada pasien dengan BPH tentunya akan memunculkan masalah-masalah yang harus segera diatasi. Maka dari itu, sebagai seorang  calon perawat, kami tertarik untuk mengambil kasus dengan BPH post operasi TURP untuk dapat mengetahui lebih dalam mengenai gambaran penyakit BPH dan dapat mendokumentasikan kasus ke dalam sebuah asuhan keperawatan untuk menangani masalah – masalah yang ada.

B.     Tujuan
1.      Tujuan Umum
Mahasiswa mampu menyusun asuhan keperawatan pada pasien dengan Post Operasi TURP BPH di RSUD Dr.Moewardi Surakarta.
2.      Tujuan Khusus
a.       Mahasiswa mampu memahami konsep dasar tentang penyakit BPH
b.      Mahasiswa mampu melakukan pengkajian keperawatan pada pasien dengan Post Operasi TURP BPH.
c.       Mahasiswa mampu mengidentifikasi masalah keperawatan yang muncul pada pasien dengan Post Operasi TURP BPH.
d.      Mahasiswa mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada pasien dengan Post Operasi TURP BPH.
e.       Mahasiswa mampu mengimplementasikan rencana asuhan keperawatan pada pasien dengan Post Operasi TURP BPH.
f.       Mahasiswa mampu mengevaluasi hasil tindakan keperawatan pada pasien dengan Post Operasi TURP BPH.
g.      Memenuhi tugas akhir praktik klinik Keperawatan Medikal Bedah.











BAB II
TINJAUAN TEORI

A.    PENGERTIAN
Benigna Prostat Hiperplasia merupakan kondisi yang belum diketahui penyebabnya ditandai oleh meningkatnya ukuran zona dalam (kelenjar periuretra) dari kelenjar prostat (Pierce A. Grace &  Neil R.Borley, 2006)
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah keadaan dimana terjadi hiperplasia kelenjar periuretral yang mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah (Sjamsuhidajat, 2010)
Benigna Prostat Hiperplasi adalah kelenjar prostat bila mengalami pembesaran, organ ini dapat menyumbat uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli (Purnomo, 2011).
Dari ketiga pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Benigna Prostat Hiperplasia merupakan suatu keadaan dimana terjadi penambahan jumlah sel-sel (hiperplasia) pada kelenjar periuretra sehingga menyebabkan pembesaran prostat dan menyebabkan aliran urine keluar terhanbat.

B.     ANATOMI DAN FISIOLOGI
1.      Anatomi
Kelenjar prostate adalah suatu kelenjar fibro muscular yang melingkar bladder neck dan bagian proksimal uretra. Berat kelenjar prostat pada orang dewasa kira-kira 20 gram dengan ukuran rata-rata : panjang 3,4 cm, lebar 4,4 cm, tebal 2,6 cm. Secara embriologis terdiri dari 5 lobus yaitu lobus medius 1 buah, lobus anterior 1 buah, lobus posterior 1 buah, lobus lateral 2 buah. Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior dan lobus posterior akan menjadi satu disebut lobus medius. Pada penampang lobus medius kadang-kadang tidak tampak karena terlalu kecil dan lobus ini tampak homogen berwarna abu-abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat. Pada potongan melintang uretra pada posterior kelenjar prostat terdiri dari:
a         Kapsul anatomis. Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler. Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian :
1)      Bagian luar disebut kelenjar sebenarnya.
2)      Bagian tengah disebut kelenjar sub mukosal, lapisan ini disebut juga sebagai adenomatus zone.
3)      Di sekitar uretra disebut periuretral gland. Saluran keluar dari ketiga kelenjar tersebut bersama dengan saluran dari vesika seminalis bersatu membentuk duktus ejakulatoris komunis yang bermuara ke dalam uretra. Menurut Mc Neal, prostat dibagi atas : zona perifer, zona sentral, zona transisional, segmen anterior dan zona spingter preprostat. Prostat normal terdiri dari 50 lobulus kelenjar. Duktus kelenjar-kelenjar prostat ini lebih kurang 20 buah, secara terpisah bermuara pada uretra prostatika, dibagian lateral verumontanum, kelenjar-kelenjar ini dilapisi oleh selaput epitel torak dan bagian basal terdapat sel-sel kuboid.












2.      Fisiologi
Pada laki-laki remaja prostat belum teraba pada colok dubur, sedangkan pada orang dewasa sedikit teraba dan pada orang tua biasanya mudah teraba. Sedangkan pada penampang tonjolan pada proses hiperplasi prostat, jaringan prostat masih baik. Pertambahan unsur kelenjar menghasilkan warna kuning kemerahan, konsisitensi lunak dan berbatas jelas dengan jaringan prostat yang terdesak berwarna putih ke abu-abuan dan padat. Apabila tonjolan itu ditekan, keluar cairan seperti susu. Apabila jaringan fibromuskuler yang bertambah tonjolan berwarna abu-abu padat dan tidak mengeluarkan cairan sehingga batas tidak jelas. Tonjolan ini dapat menekan uretra dari lateral sehingga lumen uretra menyerupai celah. Terkadang juga penonjolan ini dapat menutupi lumen uretra, tetapi fibrosis jaringan kelenjar yang berangsur-angsur mendesak prostat dan kontraksi dari vesika yang dapat mengakibatkan peradangan






C.    ETIOLOGI
Penyebab pembesaran kelenjar prostat belum diketahui secara pasti, tetapi hingga saat ini dianggap berhubungan dengan proses penuaan yang mengakibatkan penurunan kadar hormon pria, terutama testosteron. Para ahli berpendapat bahwa dihidrotestosteron yang mamacu pertumbuhan prostat seperti yang terjadi pada masa pubertas adalah penyebab terjadinya pembesaran kelenjar prostat. Hal lain yang dikaitkan dengan gangguan ini adalah stres kronis, pola makan tinggi lemak, tidak aktif olahraga dan seksual.
Selain itu testis menghasilkan beberapa hormon seks pria, yang secara keseluruhan dinamakan androgen. Hormon tersebut mencakup testosteron, dihidrotestosteron, dan androstenesdion. Testosteron sebagian besar dikonversikan oleh enzim 5-alfa- reduktase menjadi dihidrotestosteron yang lebih aktif secara fisiologis di jaringan sasaran sebagai pengatur fungsi ereksi. Tugas lain dari testosteron adalah pemicu libido, pertumbuhan otot dan mengatur doposit kalsium di tulang. Penurunan kadar testosteron telah diketahui sebagai penyebab dari penurunan libido, massa otot, melemahnya otot pada organ seksual dan kesulitan ereksi. Selain itu kadar testosteron yang rendah juga dapat menyebabkan masalah lain yang tidak segera terlihat, yaitu pembesaran kelenjar prostat.
Dalam keadaan stres, tubuh memproduksi lebih banyak steroid stres (karsitol) yang dapat menggeser produksi DHEA (dehidroepianandrosteron). DHEA berfungsi mempertahankan kadar hormon seks yang normal, termasuk testosteron. Stres kronis menyebabkan penuaan dini dan penurunan fungsi testis pria.. Kolesterol tinggi juga dapat mengganggu keseimbangan hormonal dan menyebabkan terjadinya pembesaran prostat
Faktor lain adalah nikotin dan konitin ( produk pemecahan nikotin) yang meningkatkan aktifitas enzim perusak androgen, sehingga menyebabkan penurunan kadar testosteron. Begitu pula toksin lingkungan (zat kimia yang banyak digunakan sebagai pestisida, deterjen atau limbah pabrik) dapat merusak fungsi reproduksi pria.

D.    PATOFISIOLOGI
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada bulu-buli tersebut, oleh pasien disarankan sebagai keluhkan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus. Gejala prostatimus meliputi gejala, kencing lama atau tidak cepat selesai, pancaran lemah, menetes-netes, tidak mau keluar (disuria) dan rasa tidak puas sehabis miksi. Selain itu frekuensi miksi bertambah, nokturia,dan  miksi sulit ditahan.
Apabila tekanan vesika menjadi dekompensasi, akan  terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin didalam kandung kemih dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi.  Jika keadaan ini berlanjut, pada suatu  saat akan terjadi kemacetan total sehingga penderita tidak mampu lagi miksi, karena produksi urin terus terjadi, pada suatu saat vesika tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesika terus meningkat. Tekanan intravesika yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko ureter. Keadaan keadaan ini jIka berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi, penderita harus selalu mngedan sehingga lama-kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menyebaban sistitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis.


E.    
Etiologi
 
PATHWAY
Ketidakseimbangan produksi estrogen dan progesteron
 
Rounded Rectangle: Dx : Risiko infeksi,Rounded Rectangle: Dx : Hambatan mobilitas fisik

 

Lanjutan pathway
Tekanan vesika lbh besar dari tekanan sfingter
 
 


Rounded Rectangle: Dx : Retensi urinRounded Rectangle: Dx : Risiko infeksiText Box: Hidronefrosis
Media pertumbuhan kuman
 
Text Box: Retensi urin berlebihanText Box: Refluks vesiko-ureter                                                                                                    
Sumber : Syamsuhidajat dan Wim De Jong (2005), Grace A. N Pierce & Neil R Borley (2007)
 

                       
F.     MANIFESTASI KLINIS
1.      Keluhan pada saluran kemih bagian bawah :
a.       Obstruksi :
1)      Hesistensi (harus menggunakan waktu lama bila mau miksi)
2)      Pancaran waktu miksi lemah
3)      Intermitten (miksi terputus)
4)      Miksi tidak puas
5)      Distensi abdomen
6)      Volume urine menurun dan harus mengejan saat berkemih.
b. Iritasi : frekuensi sering, nokturia, disuria.
2.      Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran bagia atas berupa gejala obstruksi antara lain ; nyeri pinggang, benjolan dipinggang (yang merupakan tanda dari Hydronephrosis) atau demam yang merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis.
3.      Gejala di luar saluran kemih :
Tidak jarang pasien berobat kedokter karena mengeluh adanya hernia inguinalis dan hemoroid akibat sering mengejan pada saat meningkatkan tekanan intra abdomen. Selain itu pada pemeriksaan fisik mungkin di dapat buli -– buli yang terisi penuh dan teraba massa kistik di daerah supra simphisis akibat retensi urine. Pada pemeriksaan colok dubur didapatkan konsistensi prostat kenyal seperti mraba ujung hidung, lotus kanan dan kiri simetris dan tidak di dapatkan nodul.
Gejala generalisata juga mungkin tampak, termasuk keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik (Brunner & Suddarth, 2002).

G.    DERAJAT HIPERPLASIA PROSTAT
Derajat
Colok dubur
Sisa volume urin
I
Penonjolan prostat, batas atas mudah diraba
< 50 ml
II
Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat dicapai
50-100 ml
III
Batas atas prostat tidak dapat diraba
>100 ml
IV

Retensi urin total

H.    KOMPLIKASI
Apabila buli-buli menjadi dekompensasi, akan terjadi retensio urin. Karena produksi urin terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin sehinnga tekanan intravesika meningkat, dapat timbul hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Selain itu dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menyebaban sistitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis.
Kebanyakan prostatektomi tidak menyebabkan impotensi (meskipun prostatektomi perineal dapat menyebabkan impotensi akibat kerusakan saraf pudendal yang tidak dapat dihindari). Pada kebanyakan kasus, aktivitas seksual dapat dilakukan kembali dalam 6 sampai 8 minggu, karena saat ini fossa prostatik telah sembuh. Setelah ejakulasi, maka cairan seminal mengalir ke dalam kandung kemih dan diekskresikan bersama urin (perubahan anatomis pada uretra posterior menyebabkan ejakulasi retrogard). Vasektomi mungkin dilakukan selama pembedahan untuk mencegah penyebaran infeksi dari uretra prostatik melalui vas deferens dan  ke dalam epididimis. Komplikasi lain akibat dari tindakan bedah adalah dapat terjadi hemoragic paska bedah, fistula, inkontinensia urin dan striktur uretra.

I.       PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.      Pemeriksaan laboratorium
Analisis urine dan pemeriksaan mikroskopis urin penting untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi. Bila terdapat hematuria, harus diperhitungkan etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuria. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dan fungsi ginjal dan status metabolik. Pemeriksaan Prostat Specific Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai SPA < 4mg / ml tidak perlu biopsy. Sedangkan bila nilai SPA 4–10 mg / ml, hitunglah Prostat Spesific Antigen Density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 mg/ml.
2.      Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi intravena, USG dan sitoskopi. Dengan tujuan untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli– buli dan volume residu urine, mencari kelainan patologi lain, baik yang berhubungan maupun yang tidak berhubungan dengan BPH. Dari semua jenis pemeriksaan dapat dilihat:
a.       Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada batu traktus urinarius, pembesaran ginjal (hidronefrosis) atau divertikulum kandung kemih. Kalau dibuat fotot setelah miksi dapat dilihat sisa urin. Pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras pada dasar kandung kemih. Secara tidak langsung pembesaran prostat dapat diperkirakan apabila dasar buli-buli pada gambaran sistogram tampak trangkat atau ujung distal ureter membelok ke atas berbentuk seperti mata kail. Apbila fungsi ginjal buruk sehingga ekskresi ginjal kurang baik atau penderita sudah dipasang kateter menetap dapat dilakukan sistogram retrograd.
b.      Dari pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter, fish hook appearance (gambaran ureter belok–belok di vesika)
c.       USG dapat dilakukan transabdominal atau transektal  dapat diperkirakan besaran (transectal ultrasonography, TRUS). Selain untuk mngetahui pembesaran prostat, pemeriksaan ini juga dapat menentukan volume buli-buli, mengukur sisa urin dan keadaan patologi lain seperti divertikulum, tumor dan batu. Dengan USG transektal, dapat diukur besar prostat untuk menentukan jenis terapi yang tepat. Perkiraan besar prostat dapat pula dilakukan dengan USG suprapubik, CT Scan atau MRI jarang dilakukan.
d.      Pemeriksaan sistografi dilakukan apabila pada anamnesa di temukan hematuria atau pada pemeriksaan urin ditemukan mikrohematuria. Pemeriksaan untuk ini dapat memberi gambaran kemungkinan tumor di dalam kandung kemih atau seumber perdarahan dari atas bila darah darah datang dari muara ureter , atau batu radiolusen didalam vesika. Selain itu sistoskopi dapat juga memberi keterangan mengenai besar prostat dengan mengukur panjang uretra pars prostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam uretra.


J.      PENATALAKSANAAN
Terapi non bedah dianjurkan bila WHO PSS (dalam pengkajian) tetap di bawah 15. Untuk itu dianjurkan melakukan kontrol dengan menentukan WHO PSS. Terapi bedah dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila timbul obstruksi. 
Di dalam praktek pembagian besar prostat derajat I-IV digunakan untuk menentukan cara penanganan. Penanganan BPH berdasarkan derajatnya adalah sebagai berikut :
1.      Derajat I, biasanya belum memerlukan tindakan bedah diberikan pengobatan konservatif misalnya dengan penghambat adrenoreseptor alfa seperti alafazosin, prazosin, terazosin, dan tamsulosin. Keuntungan obat penghambat adrenosepror alfa  ialah efek positif segera terhadapa keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasia prostat sedikitpun. Kekurangannya ialah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
2.      Derajat II, merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan. Biasanya dianjurkan reseksi endoskopik  melaui uretra (trans urethral resection, TUR). Mortalitas TUR sekitar 1% dan morbiditas sekitar 8%. Kadang derajat dua dapat dicoba dengan pengobatan konservatif.
3.      Derajat tiga, reseksi endoskopik dapat dikerjakan oleh pembedah yang cukup berpengalaman. Apabila diperkirakan prostat cukup besar sehingga reseksi tidak akan selesai dalam satu jam, sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka.
4.      Derajat IV tindakan pertama yang harus segera dikerjakan ialah membebaskan penderita atu sistostomi. Setelah itu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnosis, kemudianterapi definitif dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Jenis-jenis pembedahan dibagi menjadi empat yaitu :
1.      Prostatektomi suprapubis transevesikal
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen bagian bawah dibuat melalui leher kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas. Diperlukan perban luka, drainase, kateter foley, dan kateter suprapubis setelah operasi.
2.      Prostatektomi perineal.
Adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Vasektomi biasanya dikakukan sebagai pencegahan epididimistis. Cara ini lebih praktis dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi terbuka.. Keuntungan yang lain memberikan pendekatan anatomis langsung, drainage oleh bantuan gravitasi, efektif untuk terapi kanker radikal, hemostatik di bawah penglihatan langsung,angka mortalitas rendah,  insiden syok lebih rendah, serta ideal bagi pasien dengan prostat yang besar, resiko bedah buruk bagi pasien sangat tua dan ringkih. Pada pasca operasi luka bedah mudah terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dengan rektal. Lebih jauh lagi inkontinensia, impotensi, atau cedera rectal dapat mungkin terjadi dari cara ini. Kerugian lain adalah kemungkinan kerusakan pada rectum dan spingter eksternal serta bidang operatif terbatas.  Persiapan buang hajat diperlukan sebelum operasi (pembersihan perut, enema, diet rendah sisa dan antibiotik). Setelah operasi balutan perineal dan pengeringan luka (drainase) diletakan pada tempatnya kemudian dibutuhkan rendam duduk.
3.      Prostatektomi retropubik.
Adalah suatu teknik yang lebih umum dibanding pendekatan suprapubik dimana insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. Prosedur ini cocok untuk kelenjar besar yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun darah yang keluar dapat dikontrol dengan baik dan letak bedah lebih mudah untuk dilihat, infeksi dapat cepat terjadi dalam ruang retropubis. Kelemahan lainnya adalah tidak dapat mengobati penyakit kandung kemih yang berkaitan serta insiden hemoragi akibat pleksus venosa prostat meningkat juga osteitis pubis. Keuntungan yang lain adalah periode pemulihan lebih singkat serta kerusakan spingter kandung kemih lebih sedikit.
4.      Insisi Prostat Transuretral ( TUIP )
Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen melalui uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi kontriksi uretra. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil ( 30 gram/kurang ) dan efektif dalam mengobati banyak kasus BPH. Cara ini dapat dilakukan di klinik rawat jalan dan mempunyai angka komplikasi lebih rendah di banding cara lainnya.
5.      TURP ( TransUretral Reseksi Prostat )
TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan resektroskop. TURP merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai efek merugikan terhadap potensi kesembuhan. Operasi ini dilakukan pada prostat yang mengalami pembesaran antara 30-60 gram, kemudian dilakukan reseksi. Cairan irigasi digunakan secara terus-menerus dengan cairan isotonis selama prosedur. Setelah dilakukan reseksi, penyembuhan terjadi dengan granulasi dan reepitelisasi uretra pars prostatika.
Setelah dilakukan TURP, dipasang kateter Foley tiga saluran no. 24 yang dilengkapi balon 30 ml, untuk memperlancar pembuangan gumpalan darah dari kandung kemih. Irigasi kanding kemih yang konstan dilakukan setelah 24 jam bila tidak keluar bekuan darah lagi. Kemudian kateter dibilas tiap 4 jam sampai cairan jernih. Kateter dingkat setelah 3-5 hari setelah operasi dan pasien harus sudah dapat berkemih dengan lancar. TURP masih merupakan standar emas. Indikasi TURP ialah gejala-gejala dari sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 60 gram dan pasien cukup sehat untuk menjalani operasi. Komplikasi TURP jangka pendek adalah perdarahan, infeksi, hiponatremia atau retensio oleh karena bekuan darah. Sedangkan komplikasi jangka panjang adalah striktura uretra, ejakulasi retrograd (50-90%), impotensi (4-40%). Karena pembedahan tidak mengobati penyebab BPH, maka biasanya penyakit ini akan timbul kembali 8-10 tahun kemudian.
Selain dengan jalan pembedahan pengobatan BPH juga dapat dilakukan pengobatan konservatyaitu dengan pemberian obat antiandrogen yang menekan produksi LH. Kesulitan pengobatan konservatif ialah menetukan berapa lama obat harus diberikan dan efek samping obat.
Pengobatan lain yang invasif minimal ialah pemansan prostat dengan gelombang mikro yag disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang pada ujung kateter. Dengan cara yang disebut transutheral microwave thermotheraphy (TUMT) ini, diperoleh hail perbaikan kira-kira 75% untuk gejala obstruktif.
Pada penanggulangan invasif minimal lain yang disebut transutheral ultrasound guided lase induced prostatectomy (TULIP) digunakan cahaya laser. Dengan cara ini diperoleh juga hasil yang cukup memuaskan.
Uretra di daerah uretra juga dapat didilatasi dengan balon yang dikembangkan di dalamnya (transutheral balloon dilatation, TUBD). TUBD ini biasanya memberikan perbaikan yang bersifat sementara.

K.    PENGKAJIAN
1.      Identitas Pasien
Nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, nomor register, tanggal masuk, dan nama penanggung jawab pasien elama dirawat.
2.      Keluhan utama
Alasan spesifik, untuk kunjugan ke klinik atau rumah sakit
3.      Riwayat penyakit sekarang
Keluhan utama dari awitan paling awal sampai perkembangannya saat ini. Terdapat komponen utama yaitu: rincian awitan, riwayat interval yang lengkap, status saat ini, alasan untuk mencari bantuan saat ini.
4.      Riwayat penyakit dahulu
Apakah pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya dengan penyakit yang sama atau berbeda
5.      Riwayat penyakit keluarga
Apakah ada didalam keluarga ada salah satu anggota yang menderita penyakit yang sama aatu penyakit keturunan lainnnya seperti hipertensi, jantung. DM
6.      Pengkajian head toe toe
a         Sistem kardiovaskuler
Pada kasus BPH sering dijumpai adanya gangguan sirkulasi; pada kasus preoperasi dapat dijumpai adanya peningkatan tekanan darah yang disebabkan oleh karena efek pembesaran ginjal. Penurunan tekanan darah; peningkatan nadi sering dijumpai pada. kasus postoperasi BPH yang terjadi karena kekurangan volume cairan. Hipovolemia paling sering ditemukan karena perdarahan, muntah, diare atau asupan kurang.
b        Sistem pernapasan
Pada pasien yang dilakukan tindakan bedah perlu dikaji bagaimana pola napasnya sebab anastetik mengibah pola napas normal dan menghambat mekanisme pertukaran gas. Selama anastesi dapat terjadi takipnea atau apnea. Jika terjadi takipnea, isi alun napas (tidal volume) angat menurun dan ventilasi alveolar juga menurun sehingga menyebabkan asidosis respiratorik. Distensi perut pascabedah dapat menghalangi pernapasan , terutama pada sikap berbaring. Pasien usia lanjut cebderung menderita hiposia pasca bedah. Penrunan olsigenais ke jaringan juga disebabkan oleh hipotensi , hipovolemia atau anmeia berat. Epside hiposia ini dapat terjadi selama 72 jam pasca bedah.
c         Sistem perkemihan
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh pasien dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran urin, aliran urin berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi berkemih, nokturia, disuria dan hematuria. Sedangkan pada postoperasi BPH yang terjadi karena tindakan invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu adanya obervasi drainase kateter untuk mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan bekuan
d        Sistem pencernaan
Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan terjadinya konstipasi. Pada preoperasi BPH hal tersebut terjadi karena protrusi prostat ke dalam rektum, sedangkan pada postoperasi BPH, karena perubahan pola makan dan makanan. Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi pada postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya.
e         Sistem persarafan
Pada prostatektomi perineal dapat menyebabkan impotensi akibat kerusakan saraf pudendal yang tidak dapat dihindari).
f         Sistem muskuloskeletal
Tirah baring yang terlalu lama pada paska beda dapat menyebbakan deosifikasi pada tulang penumpu beban yang menjurus kepada osteoporosis, penurunan mass ada kekuatan otot. Tirah baring yang terlalu lama dapat menyebbakan penurunan otot sebesar 10-15% setiap minggu.
g        Sistem integumen
Kerusakan gangguan integeritas kulit dapat terjadi karena adanay luka operasi. Luka operasi dapat mengalami dehisiensi atau infeksi. Faktor penyebab dehisiensi adaalh perdarahan (hemostasis kurang sempurna), infksi luka, jahitan kurang baik dan tehnik operasi kurang baik. Faktor penyebba lain adalah keadaan umum kurang baik (hipoalbuminemia), karsinomatosis dan usia lanjut.

7.      Fokus Pengkajian fungsional
a         Psikososial
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya karena memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat dari tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku
b        Rasa Aman dan Nyaman
Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan dasar yang utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada pasien postoperasi biasanya ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul tajam dan kuat, nyeri punggung bawah.
8.      Pengkajian laboratorium
Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien preoperasi maupun postoperasi BPH. Pada preoperasi perlu dikaji, antara lain urin analisa, kultur urin, urologi., urin, BUN/kreatinin, asam fosfat serum, SDP/sel darah putih. Sedangkan pada postoperasinya perlu dikaji kadar hemoglobin dan hematokrit karena imbas dari perdarahan. Dan kadar leukosit untuk mengetahui ada tidaknya infeksi.

L.     DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL
1.      Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa urogenital, distensi kandung kemih, agens cedera (luka insisi pembedahan)
2.      Retensi urine berhubungan dengan pembsearan prostat, dekompensasi otot destrusor, sumbatan (gumpalan darah post operasi)
3.      Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, program pembatasan gerak
4.      Disfungsi seksual berhubungan dengan efek samping pembedahan
5.      Risiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan (luka insisi), pemasangan kateter
6.      Risiko  inkontinensi urin refleks berhubungan dengan pemasangan kateter


M.   INTERVENSI KEPERAWATAN
NO
Dx Keperawatan
Tujuan
Intervensi
1
Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa urogenital, distensi kandung kemih, agens cedera (luka insisi pembedahan)

NOC : Pain Level
            Pain control
            Comfort level
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …. pasien tidak mengalami nyeri, dengan kriteria hasil :
·         Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
·         Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
·         Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
·         Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
·         Tanda vital dalam rentang normal
·         Tidak mengalami gangguan tidur
NIC
·         Kaji nyeri PQRST
·         Monitor TTV dan skala nyeri secara teratur
·         Observasi reaksi non verbal
·         Jelaskan penyebab nyeri
·         Ajarkan teknik relaksasi dan distraksi
·         Jelaskan pada keluarga peran yang dapat dilakukan untuk mengurangi nyeri (massage, kompres hangat / dingin, dll)
·         Batasi aktivitas selama periode nyeri
·         Minimalkan stimuli yang menyebabkan peningkatan nyeri

Administrasi analgesik
·         Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan derajat nyeri sebelum pemberian analgesik
·         Monitor TTV sebelum dan sesudah pemberian analgesik
·         Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis dan frekuensi
·         Cek riwayat alergi analgesik
·         Evaluasi aktivitas analgesik tanda dan gejala (efek samping)
2
Retensi urine berhubungan dengan pembesaran prostat, dekompensasi otot destrusor, sumbatan (gumpalan darah post operasi)

NOC:
Urinary elimination
Urinary Contiunence
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …. retensi urin pasien teratasi dengan kriteria hasil:
·         Kandung kemih kosong secara penuh, tak teraba distensi kandung kemih
·         Tidak ada residu urine >100-200 cc
·         Intake cairan dalam rentang normal
·         Bebas dari ISK
·         Balance cairan seimbang
NIC
·         Dorong pasin untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan
·         Monitor intake dan output
·         Monitor aliran urine, perhatikan ukuran dan kekuatan
·         Monitor penggunaan obat antikolinergik
·         Monitor derajat distensi bladder
·         Monitor hasil laboratorium (BUN, kraetin, elektrolit)
·         Palpasi are suprapubik
·         Instruksikan pada pasien dan keluarga untuk mencatat output urine
·         Sediakan privacy untuk eliminasi
·         Stimulasi reflek bladder dengan kompres dingin pada abdomen.
·         Kateterisasi jika perlu
·         Monitor tanda dan gejala ISK (panas, hematuria, perubahan bau dan konsistensi urine)
·         Pertahankan irigasi kandung kemih secara kontinu
·         Kaji haluaran urine dan sistem kateter/ drainase. Khususya selama irigasi kandung kemih
                  
3
Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, program pembatasan gerak

NOC :
Mobility Level
Self care : ADLs
Transfer performance
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama….hambatan mobilitas fisik teratasi dengan kriteria hasil:
·         Klien meningkat dalam aktivitas fisik
·         Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
·         Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah

NIC
·         Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
·         Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan
·         Monitoring vital sign sebelm/sesudah latihan dan lihat respon pasien saat latihan
·         Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif atau pasif untuk mempertahankan atau m
·         Ajarkan pasien tentang teknik ambulasi
·         Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai kemampuan
·         Dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs pasien
·         Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan
·         Berikan penguatan yang positif selama aktivitas
4
Disfungsi seksual berhubungan dengan prosedur pembedahan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...pasien tidak mengalami disfungsi seksual dengan kriteria hasil:
·         Beradaptasi dengan model ekspresi seksual untuk untuk mengakomodasi prubahan fisik akibat usia atau  penyakit
·         Mencapai rangsangan seksual
·         Mengekspresikan penerimaan terhadap pasangan
·         Pantau adanya indikator resolusi disfungi seksual
·         Konseling seksual :
Ø  Awali pertanyaan tentang seksualitas dengan suatu pernyataan pada pasien bahwa banyak orang mengalami masalah seksual
Ø  Tentukan seberapa besar rasa bersalah seksual yang berhubungan dengan persepsi pasien tentang faktor penyebab penyakit tersebut
Ø  Diskusikan dampak penyakit, situasi kesehatan dan obat pada seksualitas jika diperlukan
Ø  Diskusikan pentingnya modifikasi dalam aktivitas seksual, jika diperlukan
Ø  Informasikan kepada pasien bahwa seksualitas merupakan bagian penting dari kehidupan dan bahwa penyakit, obat dan stres  atau masalah lain sering kali mnegubah fungsi seksual
Ø  Libatkan pasien dana pasangan dalam konseling
Ø  Lakukan perujukan kepada ahli terapi seks jka diperlukan

5
Risiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan (luka insisi), pemasangan kateter
NOC :
Immune Status
Knowledge : Infection control
Risk control
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama…… pasien tidak mengalami infeksi dengan kriteria hasil:
·         Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi  (tumor, rubor, dolor dan kalor)
·         Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
·         Jumlah leukosit dalam batas normal
·         Menunjukkan perilaku hidup sehat
·         Status imun, gastrointestinal, genitourinaria dalam batas normal
NIC :
·         Pertahankan teknik aseptif
·         Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan
·         Ganti letak IV perifer dan dressing sesuai dengan petunjuk umum
·         Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing
·         Awasi tanda vital, perhatiakn demam ringan, menggigil, nadi  dan pernapasan, cepat, gelisah, peka, disorientasi
·         Tingkatkan intake nutrisi
·         Berikan terapi antibiotik:.................................
·         Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
·         Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase
·         Monitor keadaan  luka
·         Pastikan tehnik perawatan luka yang tepat
·         Dorong masukan cairan
·         Dorong istirahat
·         Kaji suhu badan pada pasien neutropenia setiap 4 jam
·         Monitor hitung granulosit dan WBC
·         Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
·         Ajarkan klien dan keluarga bagaimana mencegah infeksi

6
Risiko inkontinensi urin refleks berhubungan dengan pemasangan kateter

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ..jam pasien akan menunjukkan kontinensia urin dengan kriteria hasil :
·         Menunjukkan prosedur keteter intermitten mandiri
·         Berkemih > 150 ml setiap kali berkemih
·         Mempertahnkan pola berkemih yang dapat diduga
·         Kaji kemampuan mengidentifikasi keinginan untuk berkemih
·         Identifikasi pola berkemih (baik berkemih stelah asupan tertentu atau berkemih setelah interval tertentu)
·         Pasien yang menjalai kateterisasi intermitten , pantau warna, bau dan kejernihan urine dan lakukan urinalisis secara sering untuk memanatu infeksi
·         Untuk pasien yang kateterisasi urin intermitten
Ø  Tentukan kesiapan dan kemampuan pasien untuk melakukan keteterisasi intermitten mandiri
Ø  Tentukan jadwal kateterisasi, berdasarkan pola pengkajian berkemih dan rutinitas yang biasanya
Ø  Jika haluaran urine > 300 ml dicapai (orang dewasa) lakukan kateterisasi secara lebih sering
·         Ajarkan pasien dan keluarga tentang tanda dan gejala disrefleksia otonomi yang dapat dilaporkan seperti hipertensi berat, sakit kepala, berat, diaforesis diatas area cedera, takikardia awitan mendadak
·         Ajarkan pasien dan keluarga tentang pelatihan kandung kemih yaitu dengan meningkatkan kemampuan kandung kemih untuk menahan urine dan kemampuan pasien untuk menekan urinasi
·         Pelatihan kebiasaan berkemih :
Ø  Tentukan interval jadwal eliminasi awal, berdasarkan pola berkemih dan rutinitas yang biasanya
Ø  Bantu pasien mencapai toliet dan dorong untuk melakukan eliminasi paa interval yang ditetapkan
Ø  Kurangi interval eliminasi selama setengah jam jika terdapat lebih dari dua episode inkontinensia selama 24 jam
Ø  Tingkatkan interval eliminasi selama setengah jam jiak pasientidak mengalami episode inkontinensia dalam 48 jam hingga interval optimal setiap 4 jam dicapai
·         Bantu pasien mempertahankan higiene dan rutinitas perawatan kulit yang adekuat  (misal : oleskan salep barier lembab, petahankan kulit tetap kering)
·         Pertahankan asupan cairan sekitar 2000 ml/ per hari



                                                                                                                                                                                                                                                        

BAB-3-5-DISINI

iklan perawatan luka

iklan