Friday 15 December 2017

makalah tuberkulosis(TB) bab 1-2

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang penyakit parenkim paru (Brunner & Suddarth, 2002). Penyakit infeksius yang menyerang paru-paru yang secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan. Penyakit ini bersifat menahun dan dapat menular dari penderita kepada orang lain (Santa, dkk, 2009).
TBC atau Tuberculosis adalah suatu penyakit mematikan karena kuman Mycobacterium Tuberculosis. Jumlah penderita TBC sangat banyak di Indonesia, diperkirakan ada sekitar 429ribu orang penderita TBC, mayoritas menyerang usia produktif. Jumlah penderita TBC sangat banyak di Indonesia, diperkirakan ada sekitar 429ribu orang penderita TBC, mayoritas menyerang usia produktif. Di negara maju seperti Eropa Barat dan Amerika Utara, angka kesakitan maupun angka kematian TB paru pernah menurun secara tajam. Di Amerika Utara, saat awal orang Eropa berbondong-bondong bermigrasi ke sana, kematian akibat TB pada tahun 1800 sebesar 650 per 100.000 penduduk, tahun 1860 turun menjadi 400 per 100.000 penduduk, di tahun 1900 menjadi 210 per 100.000 penduduk, pada tahun 1920 turun lagi menjadi 100 per 100.000 penduduk, dan pada tahun 1969 turun secara drastis menjadi 4 per 100.000 penduduk. Angka kematian TB di Amerika Serikat pada tahun 1976 telah turun menjadi 1,4 per 100.000 penduduk (Darmanto Djojodibroto, 2009).
Kuman Tuberkulosis berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA), kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat Dormant, tertidur lama selama beberapa tahun.
Penularan penyakit TBC adalah melalui udara yang tercemar oleh Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan/dikeluarkan oleh si penderita TBC saat batuk, dimana pada anak-anak umumnya sumber infeksi adalah berasal dari orang dewasa yang menderita TBC. Bakteri ini masuk kedalam paru-paru dan berkumpul hingga berkembang menjadi banyak (terutama pada orang yang memiliki daya tahan tubuh rendah), Bahkan bakteri ini pula dapat mengalami penyebaran melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening sehingga menyebabkan terinfeksinya organ tubuh yang lain seperti otak, ginjal, saluran cerna, tulang, kelenjar getah bening dan lainnya meski yang paling banyak adalah organ paru.

B.     Tujuan
1.      Memahami pengertian TBC.
2.      Mengetahui etiologi dan manifestasi klinik TBC.
3.      Mengetahui



















BAB II
TINJAUAN TEORI
A.  PENGERTIAN
Tuberkolusis paru adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi kuman Mycobacterium tubercolusis (Darmanto Djojodibroto, 2009).
Tuberkolusis adalah infeksi penyakit menular yang disebabkan oleh myobacterium tuberkolusis, suatu basil aerobik tahan asam, yang ditularkan melalui udara (airbone).

B.  ETIOLOGI
Mycobacterium tubercolusis merupakan jenis kuman berbentuk batang berukuran panjang 1-4 mm dengan tebal 0,3-0,6 mm. Sebagian besar komponen Mycobscterium tubercolusis adalah berupa lemak/lipid sehingga kuman mampu tahan terhadap asam serta sangat tahan terhadap zat kimia dan faktor fisik. Mikroorganisme ini adalah bersifat aerob yakni menyukai daerah yang banyak oksigen. Oleh karena itu, Mycobscterium tubercolusis senang tinggal di apeks paru-paru yang kandungan oksigennya tinggi. Daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk penyakit tuberkolusis (Irman Somantri, 2007).
Bakteri ini biasanya menyerang paru-paru, namun dapat menyerang organ lain, misalnya ginjal, tulang belakang, otak, kelenjar, dsb. Pada anak gejala tuberkolusis paru berbeda dengan orang dewasa, keluhan yang sering dijumpai pada anak-anak adalah anak tidak mau makan, berat badan jauh dibawah raa-rata anak seumurannya ( Suharjo B Cahyono, 2010 ).

C.  PATOFISIOLOGI
Infeksi primer. Pertamakali klien terinfeksi oleh tuberkolusis disebut sebagai “infeksi primer” dan biasanya terdapat pada apeks paru atau dekat pleura lobus bawah. Infeksi primer mungkin hanya berukuran mikroskopis, dan karenanya tidak tampak pada foto rontgen. Tempat infeksi primer dapat mengalami proses degenerasi nekrotik (perkejuan) tetapi bisa saja tidak, yang menyebabkan pembentukan rongga yang terisi oleh massa basil tuberkel seperti keju, sel-sel darah putih yang mati, dan jaringan paru nekrotik. Pada waktunya, material ini mencair dan mengalir ke dalam percabangan trakheobronkhial dan dibatukkan. Rongga yang terisi udara tetap ada dan mungkin terdeteksi ketika dilakukan ronsen dada.
Sebagian besar tuberkel primer menyembuh dalam periode bulanan dengan membentuk jaringan parut dan pada akhirnya, terbentuk lesi pengapuran yang juga dikenal sebagai tuberkel Ghon. Lesi ini dapat mengandung basil hidup yang dapat aktif kembali, meski telah bertahun-tahun, dan menyebabkan infeksi sekunder. Infeksi TB primer menyebabkan tubuh mengalami reaksi alergi terhadap basil tuberkel dan proteinnya. Respons imun seluler ini tampak dalam bentuk sensitisasi se-sel T dan terdeteksi oleh reaksi positif pada semua sel-sel tubuh 2-6 minggu setelah infeksi primer. Dan akan dipertahankan selama basil hidup berada dalam tubuh. Imunitas didapat ini biasanya menghambat pertumbuhan basil hidup lebih lanjut dan terjadinya infeksi aktif.
Faktor yang tampaknya mempunyai peran dalam perkembangan TB menjadi penyakit aktif termasuk (1) usia lanjut; (2) imunosupresi; (3) infeksi HIV; (4) malnutrisi, alkoholisme dan penyalahgunaan obat; (5) adana keadaan ppenyakit lain (mis, diabetes melitus, gagal ginjal kronis, atau malignasi); dan (6) predisposisi genetik. Infeksi sekunder. Selain penyakit primer yang progresif, infeksi ulang juga mengarah pada bentuk klinis TB aktif. Tempat primer infeksi yang mengandung basil TB dapat tetap laten selama bertahun-tahun dan kemudian teraktifkan kembali jika daya tahan klien menurun. Penting artinya untuk mengkaji kembali secara periodik klien yang telah mengalami infeksi TB untuk mengetahui adanya penyakit aktif (Niluh Gede Yasmin Asih, 2003).

D.  TANDA DAN GEJALA
1.      Batuk yang terus-menerus selama 2-3 minggu atau lebih
2.      Batuk berdahak kadang berdarah
3.      Nyeri dada
4.      Penurunan berat badan
5.      Demam
6.      Menggigil
7.      Keringat malam hari
8.      Kelelahan dan kehilangan selera makan.

E.  PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan diagnostik berikut biasanya dilakukan untuk menegakkan infeksi TB:
1.    Kultur sputum :positif untuk M.tuberkolusis pada tahap akhir penyakit.
2.    Ziehl-Neelsen (pewarnaan tahan asam): positif untuk basil tahan asam.
3.    Tes kulit mantoux (PPD, OT)
Reaksi yang signifikan pada individu yang sehat biasanya menunjukkan TB dorman atau infeksi yang disebabkan oleh mikobakterium yang berbeda.
4.    Ronsen dada
Menunjukkan infiltrasi kecil lesi pada bidang atas paru, deposit  kalsium dari primer yang telah menyembuh, atau cairan dari suatu efusi. Perubahan yang menandakan TB lebih lanjut mencakup kavitasi, area fibrosa.
5.    Biopsi jarum hjaringan paru : positif untuk granuloma TB. Adanya sel-sel raksasa menunjukkan nekrosis.
6.    AGD : mungkin abnormal bergantung pada letak, keparahan, dan kerusakan paru residu.
7.    Pemeriksaan fungsi pulmonal
Penurunan kapasitas vital, peningkatan ruang rugi, peningkatan rasio udara residu terhadap kapasitas paru total, dan penurunan saturasi oksigen sekunder akibat infiltrasi/fibrosis parenkim. (Niluh Gede Yasmin Asih, 2003)                               
                                       

G. PENGKAJIAN
Tentukan apakah pasien pernah terpajan pada individu dengan TB atau tidak. Sering kali sumber dari infeksi tidak diketahui dan mungkin tidak pernah ditemukan. Pada saat yang sama, kontak erat pasien harus diidentifikasi sehingga mereka dapat menjalani “follow-up” untuk menentukan apakah mereka terinfeksi dan mempunyai penyakit aktif atau tes tuberkulin positif. Keluhan klien yang paling umum adalah batuk produktif dan berkeringat malam hari.
Data yang harus dikumpulkan untuk mengkaji pasien dengan TB mencakup batuk produktif, kenaikan suhu tubuh siang hari, reaksi tuberkulin dengan indurasi 10 mm atau lebih dan rontgen dada yang menunjukkan infiltrat pulmonal (Niluh Gede Yasmin Asih, 2003).

H.  PENATALAKSANAAN MEDIS
Zain (2001) membagi penatalaksanaan tb menjadi 3, yaitu pencegahan, pengobatan, dan penemuan penderita (active case finding).
1.    Pencegahan TB Paru
1.    Pemeriksaan kontak
Pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat dengan penderita TB Paru BTA +. Pemeriksaan meliputi tes tuberkulin, klinis, dan radiologis. Bila tes tuberkulin positif, maka pemeriksaan radiologis foto thoraks diulang pada 6 dan 12 bulan mendatang. Bila masih negatif, diberikan BCG vaksinasi. Bila positif, berarti terjadi konversi hasil tes tuberkulin dan berikan kemoprefilaksasi.
2.    Mass Chest X-ray
Pemeriksaan massal terhadap kelompok-kelompok populasi tertentu misalnya :
1.    Karyawan rumah sakit/Puskesmas/Balai pengobatan.
2.    Penghuni rumah tahanan.
3.    Siswa-siswi pesantren.
3.    Vaksinasi BCG
4.    Kemoprovilaksasi dengan menggunakan INH 5 mg/kgBB selama 6-12 bulan dengan tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yang masih sedikit. Indikasi kemoprofilaksasi primer atau utama ialah bayi yang menyusu pada ibu dengan BTA positif, sedangkan kemoprofilaksasi sekunder diperlukan bagi kelompok berikut :
1.    Bayi di bawah lima tahun dengan hasil tes tuberkulin positif karena resiko timbulnya TB milier dan meningitis TB
2.    Anak dan remaja di bawah 20 tahun dengan hasil tes tuberkulin positif  yang bergaul erat dengan penderita TB yang menular.
3.    Individu yang menunjukkan konversi hasil tes tuberkulin dari negatif menjadi positif.
4.    Penderita yang menerima pengobatan steroid atau obat imunosupresif jangka panjang.
5.    Penderita diabetes melitus.
5.      Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit tuberkolusis kepada masyarakat di tingkat puskesmas maupun di tingkat rumah sakit oleh petugas pemerintah maupun petugas lsm (misalnya Perkumpulan Pemberantasan Tuberkolusis Paru Indonesia-PPTI).

2.    Pengobatan TB Paru
Mekanisme kerja obat anti tuberkolusis (OAT)
a.    Aktivitas bakterisidial, untuk bakteri yang membelah cepat.
a)    Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin (R) dan Streptomisin (S).
b)   Intraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin dan Isoniazid (INH).
b.    Aktivitas sterilisasi, terhadap the persisters (bakteri semidormant).
a)    Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan adalah Rifampisin dan Isoniazid (INH).
b)   Intraseluler, untuk slowly growing bacilli digunakan Rifampisin dan Isoniazid. Untuk very slowly growing bacilli, digunakan pirazinamid (Z).
c.    Aktivitas bakteriostatis, obat-obatan yang mempunyai aktivitas bakteriostatis terhadap bakteri tahan asam.
a)    Ektraseluler, jenis obat yang digunakan adalah Etambutol (E), asam para-amino salisilik (PAS) dan sikloserine.
b)   Intraseluler, kemungkinan masih dapat dimusnahkan oleh isonazid dalam keadaan telah terjadi resistensi sekunder.
Pengobatan Tuberkolusis terbagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Paduan obat yang digunakan terdiri atas obat utama dan tambahan. Jenis obat uama yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, Streptomisin dan Etambutol (DEPKES RI, 2004).
Untuk keperluan pengobatan perlu dibuat batasan khusus terlebih dahulu berdasarkan lokasi TB, berat ringannya penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologi, apusan sputum, dan riwayat pengobatan sebelumnya. Disamping itu, perlu pemahaman tentang strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai Directly Observed Treatment Short Course (DOTSC).
DOTSC yang direkomendasikan oleh WHO terdiri atas lima komponen, yaitu :
1.    Adanya komitmen politis berupa dukungan para pengambil keputusan dalam penanggilangan TB.
2.    Diagnosis TB melalui pemeriksaan sputum secara mikroskopik langsung, sedangkan pemeriksaan penunjangnya seperti pemeriksaan radiologis dan kultur dapat dilaksanakan di unit pelayanan yang memiliki layanan tersebut.
3.    Pengobatan TB dengan paduan OAT jangka pendek di bawah pengawasan langsung oleh pengawas menelan obat (PMO), khuisusnya dalam dua bulan pertama di mana penderita harus minum obat setiap hari.
4.    Kesinambungan ketersediaan paduan OAT jangka pendek yang cukup.
5.    Pencatatan dan pelaporan baku (Arif Muttaqin, 2009).

I.     DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN TIMBUL
1.    Bersihan jalan napas tak efektif b.d peningkatan sputum
2.    Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan perfusi-ventilasi
3.    Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d peningkatan sputum, peningkatan kebutuhan metabolisme, batuk, keletihan.
4.    Gangguan pola tidur b.d batuk pada malam hari
5.    Kurang pengetahuan : tentang penyebaran dan pencegahan tuberkolusis b.d kurang penjelasan terhadap informasi (Niluh Gede Yasmin Asih, 2003).

J.    INTERVENSI
1.    Bersihan jalan napas tak efektif b.d peningkatan sputum
Intervensi
a)    Ajarkan pasien melakukan napas dalam
b)   Anjurkan pasien untuk melakukan batuk efektif
2.    Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan perfusi-ventilasi
Intervensi
a)    Kaji bunyi paru : frekuensi napas, kedalaman, dan produksi sputum.
b)   Pantau hasil gas darah
c)    Observasi terhadap sianosis
d)   Ajarkan pada klien teknik relaksasi
3.    Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d peningkatan sputum, peningkatan kebutuhan metabolisme, batuk, keletihan.
Intervensi
a)    Ketahui makanan kesukaan klien
b)   Pantau nilai laboratorium, terutama transferin, albumin, dan elektrilit.
c)    Ajarkan kepada pasien dan keluarga tentang makanan bergizi dan tidak mahal.
d)   Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan asupan nutrisi untuk pasien.
4.    Gangguan pola tidur b.d batuk pada malam hari
Intervensi
a)    Tentukan efek samping pengobatan dengan pola tidur pasien.
b)   Pantau pola tidur pasien dan catat hubungan faktor fisik  atau psikologis.
c)    Bantu pasien mengidentifikasi faktor-faktor yang mungkin menyebabkan kurang tidur.
5.    Defisit pengetahuan : tentang penyebaran dan pencegahan tuberkolusis b.d kurang penjelasan terhadap informasi.
Intervensi
a)    Tentukan kebutuhan pengajaran pasien.
b)   Lakukan penilaian tingkat pengetahuan pasien.
c)    Menyeleksi strategi pengajaran yang tepat.


No comments:

Post a Comment

iklan perawatan luka

iklan