BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuberkulosis
(TB) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang penyakit parenkim paru
(Brunner & Suddarth, 2002). Penyakit infeksius yang menyerang paru-paru
yang secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis
jaringan. Penyakit ini bersifat menahun dan dapat menular dari penderita kepada
orang lain (Santa, dkk, 2009).
TBC
atau Tuberculosis adalah suatu penyakit mematikan karena kuman Mycobacterium
Tuberculosis. Jumlah penderita TBC sangat banyak di
Indonesia, diperkirakan ada sekitar 429ribu orang penderita TBC, mayoritas
menyerang usia produktif. Jumlah penderita TBC sangat banyak di Indonesia,
diperkirakan ada sekitar 429ribu orang penderita TBC, mayoritas menyerang usia
produktif. Di negara maju seperti Eropa Barat dan Amerika Utara, angka
kesakitan maupun angka kematian TB paru pernah menurun secara tajam. Di Amerika
Utara, saat awal orang Eropa berbondong-bondong bermigrasi ke sana, kematian
akibat TB pada tahun 1800 sebesar 650 per 100.000 penduduk, tahun 1860 turun
menjadi 400 per 100.000 penduduk, di tahun 1900 menjadi 210 per 100.000
penduduk, pada tahun 1920 turun lagi menjadi 100 per 100.000 penduduk, dan pada
tahun 1969 turun secara drastis menjadi 4 per 100.000 penduduk. Angka kematian
TB di Amerika Serikat pada tahun 1976 telah turun menjadi 1,4 per 100.000
penduduk (Darmanto Djojodibroto, 2009).
Kuman Tuberkulosis
berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan, Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA), kuman
TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup
beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini
dapat Dormant, tertidur lama selama beberapa tahun.
Penularan
penyakit TBC adalah melalui udara yang tercemar oleh Mikobakterium tuberkulosa
yang dilepaskan/dikeluarkan oleh si penderita TBC saat batuk, dimana pada
anak-anak umumnya sumber infeksi adalah berasal dari orang dewasa yang
menderita TBC. Bakteri ini masuk kedalam paru-paru dan berkumpul hingga
berkembang menjadi banyak (terutama pada orang yang memiliki daya tahan tubuh
rendah), Bahkan bakteri ini pula dapat mengalami penyebaran melalui pembuluh
darah atau kelenjar getah bening sehingga menyebabkan terinfeksinya organ tubuh
yang lain seperti otak, ginjal, saluran cerna, tulang, kelenjar getah bening
dan lainnya meski yang paling banyak adalah organ paru.
B. Tujuan
1. Memahami
pengertian TBC.
2. Mengetahui
etiologi dan manifestasi klinik TBC.
3. Mengetahui
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. PENGERTIAN
Tuberkolusis paru
adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi kuman Mycobacterium
tubercolusis (Darmanto Djojodibroto, 2009).
Tuberkolusis adalah infeksi penyakit
menular yang disebabkan oleh myobacterium tuberkolusis, suatu basil aerobik
tahan asam, yang ditularkan melalui udara (airbone).
B. ETIOLOGI
Mycobacterium tubercolusis
merupakan jenis kuman berbentuk batang berukuran panjang 1-4 mm dengan tebal
0,3-0,6 mm. Sebagian besar komponen Mycobscterium tubercolusis adalah berupa
lemak/lipid sehingga kuman mampu tahan terhadap asam serta sangat tahan
terhadap zat kimia dan faktor fisik. Mikroorganisme ini adalah bersifat aerob
yakni menyukai daerah yang banyak oksigen. Oleh karena itu, Mycobscterium
tubercolusis senang tinggal di apeks paru-paru yang kandungan oksigennya
tinggi. Daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk penyakit tuberkolusis
(Irman Somantri, 2007).
Bakteri ini biasanya
menyerang paru-paru, namun dapat menyerang organ lain, misalnya ginjal, tulang
belakang, otak, kelenjar, dsb. Pada anak gejala tuberkolusis paru berbeda
dengan orang dewasa, keluhan yang sering dijumpai pada anak-anak adalah anak
tidak mau makan, berat badan jauh dibawah raa-rata anak seumurannya ( Suharjo B
Cahyono, 2010 ).
C. PATOFISIOLOGI
Infeksi primer.
Pertamakali klien terinfeksi oleh tuberkolusis disebut sebagai “infeksi primer”
dan biasanya terdapat pada apeks paru atau dekat pleura lobus bawah. Infeksi
primer mungkin hanya berukuran mikroskopis, dan karenanya tidak tampak pada
foto rontgen. Tempat infeksi primer dapat mengalami proses degenerasi nekrotik
(perkejuan) tetapi bisa saja tidak, yang menyebabkan pembentukan rongga yang
terisi oleh massa basil tuberkel seperti keju, sel-sel darah putih yang mati,
dan jaringan paru nekrotik. Pada waktunya, material ini mencair dan mengalir ke
dalam percabangan trakheobronkhial dan dibatukkan. Rongga yang terisi udara
tetap ada dan mungkin terdeteksi ketika dilakukan ronsen dada.
Sebagian besar tuberkel
primer menyembuh dalam periode bulanan dengan membentuk jaringan parut dan pada
akhirnya, terbentuk lesi pengapuran yang juga dikenal sebagai tuberkel Ghon.
Lesi ini dapat mengandung basil hidup yang dapat aktif kembali, meski telah
bertahun-tahun, dan menyebabkan infeksi sekunder. Infeksi TB primer menyebabkan
tubuh mengalami reaksi alergi terhadap basil tuberkel dan proteinnya. Respons
imun seluler ini tampak dalam bentuk sensitisasi se-sel T dan terdeteksi oleh reaksi
positif pada semua sel-sel tubuh 2-6 minggu setelah infeksi primer. Dan akan dipertahankan
selama basil hidup berada dalam tubuh. Imunitas didapat ini biasanya menghambat
pertumbuhan basil hidup lebih lanjut dan terjadinya infeksi aktif.
Faktor yang tampaknya
mempunyai peran dalam perkembangan TB menjadi penyakit aktif termasuk (1) usia
lanjut; (2) imunosupresi; (3) infeksi HIV; (4) malnutrisi, alkoholisme dan
penyalahgunaan obat; (5) adana keadaan ppenyakit lain (mis, diabetes melitus,
gagal ginjal kronis, atau malignasi); dan (6) predisposisi genetik. Infeksi
sekunder. Selain penyakit primer yang progresif, infeksi ulang juga mengarah
pada bentuk klinis TB aktif. Tempat primer infeksi yang mengandung basil TB
dapat tetap laten selama bertahun-tahun dan kemudian teraktifkan kembali jika
daya tahan klien menurun. Penting artinya untuk mengkaji kembali secara
periodik klien yang telah mengalami infeksi TB untuk mengetahui adanya penyakit
aktif (Niluh Gede Yasmin Asih, 2003).
D. TANDA DAN GEJALA
1.
Batuk yang terus-menerus selama 2-3
minggu atau lebih
2.
Batuk berdahak kadang berdarah
3.
Nyeri dada
4.
Penurunan berat badan
5.
Demam
6.
Menggigil
7.
Keringat malam hari
8.
Kelelahan dan kehilangan selera makan.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan diagnostik
berikut biasanya dilakukan untuk menegakkan infeksi TB:
1. Kultur
sputum :positif untuk M.tuberkolusis pada tahap akhir penyakit.
2. Ziehl-Neelsen
(pewarnaan tahan asam): positif untuk basil tahan asam.
3. Tes
kulit mantoux (PPD, OT)
Reaksi yang signifikan pada individu
yang sehat biasanya menunjukkan TB dorman atau infeksi yang disebabkan oleh
mikobakterium yang berbeda.
4. Ronsen
dada
Menunjukkan infiltrasi kecil lesi pada
bidang atas paru, deposit kalsium dari
primer yang telah menyembuh, atau cairan dari suatu efusi. Perubahan yang
menandakan TB lebih lanjut mencakup kavitasi, area fibrosa.
5. Biopsi
jarum hjaringan paru : positif untuk granuloma TB. Adanya sel-sel raksasa menunjukkan
nekrosis.
6. AGD
: mungkin abnormal bergantung pada letak, keparahan, dan kerusakan paru residu.
7. Pemeriksaan
fungsi pulmonal
Penurunan kapasitas vital, peningkatan ruang rugi,
peningkatan rasio udara residu terhadap kapasitas paru total, dan penurunan saturasi
oksigen sekunder akibat infiltrasi/fibrosis parenkim. (Niluh Gede Yasmin Asih,
2003)
G. PENGKAJIAN
Tentukan apakah pasien
pernah terpajan pada individu dengan TB atau tidak. Sering kali sumber dari
infeksi tidak diketahui dan mungkin tidak pernah ditemukan. Pada saat yang
sama, kontak erat pasien harus diidentifikasi sehingga mereka dapat menjalani
“follow-up” untuk menentukan apakah mereka terinfeksi dan mempunyai penyakit
aktif atau tes tuberkulin positif. Keluhan klien yang paling umum adalah batuk
produktif dan berkeringat malam hari.
Data yang harus
dikumpulkan untuk mengkaji pasien dengan TB mencakup batuk produktif, kenaikan
suhu tubuh siang hari, reaksi tuberkulin dengan indurasi 10 mm atau lebih dan
rontgen dada yang menunjukkan infiltrat pulmonal (Niluh Gede Yasmin Asih, 2003).
H. PENATALAKSANAAN MEDIS
Zain (2001) membagi
penatalaksanaan tb menjadi 3, yaitu pencegahan, pengobatan, dan penemuan
penderita (active case finding).
1.
Pencegahan
TB Paru
1. Pemeriksaan
kontak
Pemeriksaan terhadap individu yang
bergaul erat dengan penderita TB Paru BTA +. Pemeriksaan meliputi tes
tuberkulin, klinis, dan radiologis. Bila tes tuberkulin positif, maka
pemeriksaan radiologis foto thoraks diulang pada 6 dan 12 bulan mendatang. Bila
masih negatif, diberikan BCG vaksinasi. Bila positif, berarti terjadi konversi
hasil tes tuberkulin dan berikan kemoprefilaksasi.
2. Mass
Chest X-ray
Pemeriksaan massal terhadap
kelompok-kelompok populasi tertentu misalnya :
1. Karyawan
rumah sakit/Puskesmas/Balai pengobatan.
2. Penghuni
rumah tahanan.
3. Siswa-siswi
pesantren.
3. Vaksinasi
BCG
4. Kemoprovilaksasi
dengan menggunakan INH 5 mg/kgBB selama 6-12 bulan dengan tujuan menghancurkan
atau mengurangi populasi bakteri yang masih sedikit. Indikasi kemoprofilaksasi
primer atau utama ialah bayi yang menyusu pada ibu dengan BTA positif, sedangkan
kemoprofilaksasi sekunder diperlukan bagi kelompok berikut :
1. Bayi
di bawah lima tahun dengan hasil tes tuberkulin positif karena resiko timbulnya
TB milier dan meningitis TB
2. Anak
dan remaja di bawah 20 tahun dengan hasil tes tuberkulin positif yang bergaul erat dengan penderita TB yang
menular.
3. Individu
yang menunjukkan konversi hasil tes tuberkulin dari negatif menjadi positif.
4. Penderita
yang menerima pengobatan steroid atau obat imunosupresif jangka panjang.
5. Penderita
diabetes melitus.
5.
Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE)
tentang penyakit tuberkolusis kepada masyarakat di tingkat puskesmas maupun di
tingkat rumah sakit oleh petugas pemerintah maupun petugas lsm (misalnya
Perkumpulan Pemberantasan Tuberkolusis Paru Indonesia-PPTI).
2.
Pengobatan
TB Paru
Mekanisme kerja obat anti tuberkolusis
(OAT)
a. Aktivitas
bakterisidial, untuk bakteri yang membelah cepat.
a) Ekstraseluler,
jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin (R) dan Streptomisin (S).
b) Intraseluler,
jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin dan Isoniazid (INH).
b. Aktivitas
sterilisasi, terhadap the persisters (bakteri semidormant).
a) Ekstraseluler,
jenis obat yang digunakan adalah Rifampisin dan Isoniazid (INH).
b) Intraseluler,
untuk slowly growing bacilli digunakan Rifampisin dan Isoniazid. Untuk very
slowly growing bacilli, digunakan pirazinamid (Z).
c. Aktivitas
bakteriostatis, obat-obatan yang mempunyai aktivitas bakteriostatis terhadap
bakteri tahan asam.
a) Ektraseluler,
jenis obat yang digunakan adalah Etambutol (E), asam para-amino salisilik (PAS)
dan sikloserine.
b) Intraseluler,
kemungkinan masih dapat dimusnahkan oleh isonazid dalam keadaan telah terjadi
resistensi sekunder.
Pengobatan Tuberkolusis
terbagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7
bulan). Paduan obat yang digunakan terdiri atas obat utama dan tambahan. Jenis
obat uama yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisin,
Isoniazid, Pirazinamid, Streptomisin dan Etambutol (DEPKES RI, 2004).
Untuk keperluan
pengobatan perlu dibuat batasan khusus terlebih dahulu berdasarkan lokasi TB,
berat ringannya penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologi, apusan sputum, dan
riwayat pengobatan sebelumnya. Disamping itu, perlu pemahaman tentang strategi
penanggulangan TB yang dikenal sebagai Directly Observed Treatment Short Course
(DOTSC).
DOTSC
yang direkomendasikan oleh WHO terdiri atas lima komponen, yaitu :
1. Adanya
komitmen politis berupa dukungan para pengambil keputusan dalam penanggilangan
TB.
2. Diagnosis
TB melalui pemeriksaan sputum secara mikroskopik langsung, sedangkan
pemeriksaan penunjangnya seperti pemeriksaan radiologis dan kultur dapat
dilaksanakan di unit pelayanan yang memiliki layanan tersebut.
3. Pengobatan
TB dengan paduan OAT jangka pendek di bawah pengawasan langsung oleh pengawas
menelan obat (PMO), khuisusnya dalam dua bulan pertama di mana penderita harus
minum obat setiap hari.
4. Kesinambungan
ketersediaan paduan OAT jangka pendek yang cukup.
5. Pencatatan
dan pelaporan baku (Arif Muttaqin, 2009).
I.
DIAGNOSA
KEPERAWATAN YANG MUNGKIN TIMBUL
1. Bersihan
jalan napas tak efektif b.d peningkatan sputum
2. Gangguan
pertukaran gas b.d ketidakseimbangan perfusi-ventilasi
3. Perubahan
nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d peningkatan sputum, peningkatan
kebutuhan metabolisme, batuk, keletihan.
4. Gangguan
pola tidur b.d batuk pada malam hari
5. Kurang
pengetahuan : tentang penyebaran dan pencegahan tuberkolusis b.d kurang
penjelasan terhadap informasi (Niluh Gede Yasmin Asih, 2003).
J.
INTERVENSI
1. Bersihan
jalan napas tak efektif b.d peningkatan sputum
Intervensi
a) Ajarkan
pasien melakukan napas dalam
b) Anjurkan
pasien untuk melakukan batuk efektif
2. Gangguan
pertukaran gas b.d ketidakseimbangan perfusi-ventilasi
Intervensi
a) Kaji
bunyi paru : frekuensi napas, kedalaman, dan produksi sputum.
b) Pantau
hasil gas darah
c) Observasi
terhadap sianosis
d) Ajarkan
pada klien teknik relaksasi
3. Perubahan
nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d peningkatan sputum, peningkatan
kebutuhan metabolisme, batuk, keletihan.
Intervensi
a) Ketahui
makanan kesukaan klien
b) Pantau
nilai laboratorium, terutama transferin, albumin, dan elektrilit.
c) Ajarkan
kepada pasien dan keluarga tentang makanan bergizi dan tidak mahal.
d) Kolaborasi
dengan ahli gizi untuk menentukan asupan nutrisi untuk pasien.
4. Gangguan
pola tidur b.d batuk pada malam hari
Intervensi
a) Tentukan
efek samping pengobatan dengan pola tidur pasien.
b) Pantau
pola tidur pasien dan catat hubungan faktor fisik atau psikologis.
c) Bantu
pasien mengidentifikasi faktor-faktor yang mungkin menyebabkan kurang tidur.
5. Defisit
pengetahuan : tentang penyebaran dan pencegahan tuberkolusis b.d kurang
penjelasan terhadap informasi.
Intervensi
a) Tentukan
kebutuhan pengajaran pasien.
b) Lakukan
penilaian tingkat pengetahuan pasien.
c) Menyeleksi
strategi pengajaran yang tepat.
No comments:
Post a Comment