BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Benign Prostatic
Hyperplasia (BPH) menjadi masalah bagi kebanyakan
kaum pria yang berusia diatas 50 tahun. BPH pada pria muncul tanpa ada gejala
awal terlebih dahulu, sehingga seringkali pasien tidak menyadari bahwa mereka
menderita BPH. Jika dilihat secara epidemiologinya dan dikelompokkan menurut
usia, maka dapat dilihat kadar insidensi BPH. Pada usia 40-an, kemungkinan
seseorang itu menderita penyakit BPH adalah sebesar 40%. Setelah meningkatnya
usia, yakni dalam rentang usia 60 hingga 70 tahun, persentasenya meningkat
menjadi 50%. Sedangkan diatas 70 tahun, persentase menderita BPH dapat mencapai
90% (A. K. Abbas, 2005).
Prevalensi
meningkatnya penderita BPH sejalan dengan peningkatan usia pada pria dan
insiden pada negara berkembang meningkat karena adanya peningkatan umur harapan
hidup (Mansjoer, 2000). Berkembangnya sebuah negara dapat meningkatkan usia
harapan hidup yang secara tidak langsung kadar penderita BPH secara pastinya
turut meningkat (Furqan, 2003). Begitu pula dengan Indonesia yang kini semakin
hari semakin maju dan berkembang. Pasien BPH bergejala di indonesia yang
berjumlah sekitar 80.000 pada tahun 1991, diperkirakan akan meningkat menjadi
satu setengah kalinya pada tahun 2031 (Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2000).
Menurut Smeltzer (2001), BPH merupakan kondisi
patologis yang paling lazim pada usia lansia dan merupakan penyebab kedua yang
paling sering untuk intervensi medis pada pria diatas 60 tahun. Pada
kasus yang sudah banyak terjadi, BPH mempunyai angka morbiditas yang bermakna pada populasi
usia lanjut. Gejalanya merupakan keluhan yang
umum dalam bidang bedah urologi. Apa bila pasien dengan BPH tidak segera
ditangani, maka kemungkinan tanda dan gejalanya akan berubah menjadi kanker
prostat.
Dalam menangani kasus BPH, dapat
dilakukan berbagai tindakan dari yang paling
ringan yaitu secara konservatif (non operatif) sampai tindakan yang paling
berat yaitu operasi. Penatalaksanaan medis dengan tindakan operasi pada pasien
dengan BPH tentunya akan memunculkan masalah-masalah yang harus segera diatasi.
Maka dari itu, sebagai seorang calon
perawat, kami tertarik untuk mengambil kasus dengan BPH post operasi TURP untuk
dapat mengetahui lebih dalam mengenai gambaran penyakit BPH dan dapat mendokumentasikan
kasus ke dalam sebuah asuhan keperawatan untuk menangani masalah – masalah yang
ada.
B.
Tujuan
1.
Tujuan
Umum
Mahasiswa mampu
menyusun asuhan keperawatan pada pasien dengan Post Operasi TURP BPH di RSUD
Dr.Moewardi Surakarta.
2.
Tujuan
Khusus
a. Mahasiswa
mampu memahami konsep dasar tentang penyakit BPH
b. Mahasiswa
mampu melakukan pengkajian keperawatan pada pasien dengan Post Operasi TURP
BPH.
c. Mahasiswa
mampu mengidentifikasi masalah keperawatan yang muncul pada pasien dengan Post
Operasi TURP BPH.
d. Mahasiswa
mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada pasien dengan Post Operasi TURP
BPH.
e. Mahasiswa
mampu mengimplementasikan rencana asuhan keperawatan pada pasien dengan Post
Operasi TURP BPH.
f. Mahasiswa
mampu mengevaluasi hasil tindakan keperawatan pada pasien dengan Post Operasi
TURP BPH.
g. Memenuhi
tugas akhir praktik klinik Keperawatan Medikal Bedah.
BAB
II
TINJAUAN
TEORI
A.
PENGERTIAN
Benigna Prostat Hiperplasia merupakan kondisi yang
belum diketahui penyebabnya ditandai oleh meningkatnya ukuran zona dalam (kelenjar
periuretra) dari kelenjar prostat (Pierce A. Grace & Neil R.Borley, 2006)
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah keadaan
dimana terjadi hiperplasia kelenjar periuretral yang mendesak jaringan prostat
yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah (Sjamsuhidajat, 2010)
Benigna Prostat Hiperplasi adalah kelenjar prostat
bila mengalami pembesaran, organ ini dapat menyumbat uretra pars prostatika dan
menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli (Purnomo, 2011).
Dari ketiga pengertian diatas dapat disimpulkan
bahwa Benigna Prostat Hiperplasia merupakan suatu keadaan dimana terjadi
penambahan jumlah sel-sel (hiperplasia) pada kelenjar periuretra sehingga
menyebabkan pembesaran prostat dan menyebabkan aliran urine keluar terhanbat.
B.
ANATOMI
DAN FISIOLOGI
1. Anatomi
Kelenjar prostate adalah suatu kelenjar fibro
muscular yang melingkar bladder neck dan bagian proksimal uretra. Berat
kelenjar prostat pada orang dewasa kira-kira 20 gram dengan ukuran rata-rata :
panjang 3,4 cm, lebar 4,4 cm, tebal 2,6 cm. Secara embriologis terdiri dari 5
lobus yaitu lobus medius 1 buah, lobus anterior 1 buah, lobus posterior 1 buah,
lobus lateral 2 buah. Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior dan
lobus posterior akan menjadi satu disebut lobus medius. Pada penampang lobus
medius kadang-kadang tidak tampak karena terlalu kecil dan lobus ini tampak
homogen berwarna abu-abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista
ini disebut kelenjar prostat. Pada potongan melintang uretra pada posterior
kelenjar prostat terdiri dari:
a
Kapsul anatomis. Jaringan stroma yang
terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler. Jaringan kelenjar yang
terbagi atas 3 kelompok bagian :
1) Bagian
luar disebut kelenjar sebenarnya.
2) Bagian
tengah disebut kelenjar sub mukosal, lapisan ini disebut juga sebagai
adenomatus zone.
3) Di
sekitar uretra disebut periuretral gland. Saluran keluar dari ketiga kelenjar
tersebut bersama dengan saluran dari vesika seminalis bersatu membentuk duktus
ejakulatoris komunis yang bermuara ke dalam uretra. Menurut Mc Neal, prostat
dibagi atas : zona perifer, zona sentral, zona transisional, segmen anterior
dan zona spingter preprostat. Prostat normal terdiri dari 50 lobulus kelenjar.
Duktus kelenjar-kelenjar prostat ini lebih kurang 20 buah, secara terpisah
bermuara pada uretra prostatika, dibagian lateral verumontanum,
kelenjar-kelenjar ini dilapisi oleh selaput epitel torak dan bagian basal
terdapat sel-sel kuboid.
2. Fisiologi
Pada laki-laki remaja
prostat belum teraba pada colok dubur, sedangkan pada orang dewasa sedikit
teraba dan pada orang tua biasanya mudah teraba. Sedangkan pada penampang
tonjolan pada proses hiperplasi prostat, jaringan prostat masih baik.
Pertambahan unsur kelenjar menghasilkan warna kuning kemerahan, konsisitensi lunak
dan berbatas jelas dengan jaringan prostat yang terdesak berwarna putih ke
abu-abuan dan padat. Apabila tonjolan itu ditekan, keluar cairan seperti susu. Apabila
jaringan fibromuskuler yang bertambah tonjolan berwarna abu-abu padat dan tidak
mengeluarkan cairan sehingga batas tidak jelas. Tonjolan ini dapat menekan
uretra dari lateral sehingga lumen uretra menyerupai celah. Terkadang juga penonjolan
ini dapat menutupi lumen uretra, tetapi fibrosis jaringan kelenjar yang
berangsur-angsur mendesak prostat dan kontraksi dari vesika yang dapat
mengakibatkan peradangan
C.
ETIOLOGI
Penyebab pembesaran kelenjar prostat belum diketahui
secara pasti, tetapi hingga saat ini dianggap berhubungan dengan proses penuaan
yang mengakibatkan penurunan kadar hormon pria, terutama testosteron. Para ahli
berpendapat bahwa dihidrotestosteron yang mamacu pertumbuhan prostat seperti
yang terjadi pada masa pubertas adalah penyebab terjadinya pembesaran kelenjar
prostat. Hal lain yang dikaitkan dengan gangguan ini adalah stres kronis, pola
makan tinggi lemak, tidak aktif olahraga dan seksual.
Selain itu testis menghasilkan beberapa hormon seks
pria, yang secara keseluruhan dinamakan androgen. Hormon tersebut mencakup testosteron,
dihidrotestosteron, dan androstenesdion. Testosteron sebagian besar
dikonversikan oleh enzim 5-alfa- reduktase menjadi dihidrotestosteron yang
lebih aktif secara fisiologis di jaringan sasaran sebagai pengatur fungsi
ereksi. Tugas lain dari testosteron adalah pemicu libido, pertumbuhan otot dan
mengatur doposit kalsium di tulang. Penurunan kadar testosteron telah diketahui
sebagai penyebab dari penurunan libido, massa otot, melemahnya otot pada organ
seksual dan kesulitan ereksi. Selain itu kadar testosteron yang rendah juga
dapat menyebabkan masalah lain yang tidak segera terlihat, yaitu pembesaran kelenjar
prostat.
Dalam keadaan stres, tubuh memproduksi lebih banyak
steroid stres (karsitol) yang dapat menggeser produksi DHEA (dehidroepianandrosteron).
DHEA berfungsi mempertahankan kadar hormon seks yang normal, termasuk
testosteron. Stres kronis menyebabkan penuaan dini dan penurunan fungsi testis
pria.. Kolesterol tinggi juga dapat mengganggu keseimbangan hormonal dan
menyebabkan terjadinya pembesaran prostat
Faktor lain adalah nikotin dan konitin ( produk
pemecahan nikotin) yang meningkatkan aktifitas enzim perusak androgen, sehingga
menyebabkan penurunan kadar testosteron. Begitu pula toksin lingkungan (zat
kimia yang banyak digunakan sebagai pestisida, deterjen atau limbah pabrik)
dapat merusak fungsi reproduksi pria.
D.
PATOFISIOLOGI
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen
uretra prostatika dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan tekanan intravesikal. Untuk mengeluarkan urine, buli-buli harus
berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus
ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi otot
detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel
buli-buli. Perubahan struktur pada bulu-buli tersebut, oleh pasien
disarankan sebagai keluhkan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower
urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus.
Gejala prostatimus meliputi gejala, kencing lama
atau tidak cepat selesai, pancaran lemah, menetes-netes, tidak mau keluar
(disuria) dan rasa tidak puas sehabis miksi. Selain itu frekuensi miksi
bertambah, nokturia,dan miksi sulit
ditahan.
Apabila tekanan vesika menjadi dekompensasi,
akan terjadi retensi urin sehingga pada
akhir miksi masih ditemukan sisa urin didalam kandung kemih dan timbul rasa
tidak tuntas pada akhir miksi. Jika
keadaan ini berlanjut, pada suatu saat
akan terjadi kemacetan total sehingga penderita tidak mampu lagi miksi, karena
produksi urin terus terjadi, pada suatu saat vesika tidak mampu lagi menampung
urin sehingga tekanan intravesika terus meningkat. Tekanan intravesika yang
tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara
ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine
dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko ureter. Keadaan
keadaan ini jIka berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter,
hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal. Proses
kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi, penderita
harus selalu mngedan sehingga lama-kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid.
Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung
kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu
tersebut dapat pula menyebaban sistitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi
pielonefritis.
E.
|
PATHWAY
|
|||||
Lanjutan pathway
|
|
|
F.
MANIFESTASI
KLINIS
1. Keluhan
pada saluran kemih bagian bawah :
a. Obstruksi
:
1) Hesistensi
(harus menggunakan waktu lama bila mau miksi)
2) Pancaran
waktu miksi lemah
3) Intermitten
(miksi terputus)
4) Miksi
tidak puas
5) Distensi
abdomen
6) Volume
urine menurun dan harus mengejan saat berkemih.
b. Iritasi : frekuensi
sering, nokturia, disuria.
2. Gejala
pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit
hiperplasia prostat pada saluran bagia atas berupa gejala obstruksi antara lain
; nyeri pinggang, benjolan dipinggang (yang merupakan tanda dari
Hydronephrosis) atau demam yang merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis.
3. Gejala
di luar saluran kemih :
Tidak jarang pasien
berobat kedokter karena mengeluh adanya hernia inguinalis dan hemoroid akibat
sering mengejan pada saat meningkatkan tekanan intra abdomen. Selain itu pada
pemeriksaan fisik mungkin di dapat buli -– buli yang terisi penuh dan teraba
massa kistik di daerah supra simphisis akibat retensi urine. Pada pemeriksaan
colok dubur didapatkan konsistensi prostat kenyal seperti mraba ujung hidung,
lotus kanan dan kiri simetris dan tidak di dapatkan nodul.
Gejala generalisata
juga mungkin tampak, termasuk keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa
tidak nyaman pada epigastrik (Brunner & Suddarth, 2002).
G.
DERAJAT
HIPERPLASIA PROSTAT
Derajat
|
Colok
dubur
|
Sisa
volume urin
|
I
|
Penonjolan
prostat, batas atas mudah diraba
|
<
50
ml
|
II
|
Penonjolan
prostat jelas, batas atas dapat dicapai
|
50-100
ml
|
III
|
Batas
atas prostat tidak dapat diraba
|
>100 ml
|
IV
|
|
Retensi
urin total
|
H.
KOMPLIKASI
Apabila buli-buli menjadi dekompensasi, akan terjadi
retensio urin. Karena
produksi urin terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi
menampung urin sehinnga tekanan intravesika meningkat, dapat timbul
hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Selain itu dapat terbentuk batu
endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan
menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menyebaban sistitis dan bila
terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis.
Kebanyakan prostatektomi tidak menyebabkan impotensi
(meskipun prostatektomi perineal dapat menyebabkan impotensi akibat kerusakan
saraf pudendal yang tidak dapat dihindari). Pada kebanyakan kasus, aktivitas
seksual dapat dilakukan kembali dalam 6 sampai 8 minggu, karena saat ini fossa
prostatik telah sembuh. Setelah ejakulasi, maka cairan seminal mengalir ke
dalam kandung kemih dan diekskresikan bersama urin (perubahan anatomis pada
uretra posterior menyebabkan ejakulasi retrogard). Vasektomi mungkin dilakukan
selama pembedahan untuk mencegah penyebaran infeksi dari uretra prostatik
melalui vas deferens dan ke dalam
epididimis. Komplikasi lain akibat dari tindakan bedah adalah dapat terjadi
hemoragic paska bedah, fistula, inkontinensia urin dan striktur uretra.
I.
PEMERIKSAAN
PENUNJANG
1. Pemeriksaan
laboratorium
Analisis urine dan
pemeriksaan mikroskopis urin penting untuk melihat adanya sel leukosit,
bakteri, dan infeksi. Bila terdapat hematuria, harus diperhitungkan etiologi
lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih,
walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuria. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin
darah merupakan informasi dasar dan fungsi ginjal dan status metabolik.
Pemeriksaan Prostat Specific Antigen
(PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsy atau sebagai deteksi
dini keganasan. Bila nilai SPA < 4mg / ml tidak perlu biopsy. Sedangkan bila
nilai SPA 4–10 mg / ml, hitunglah Prostat
Spesific Antigen Density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume
prostat. Bila PSAD > 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian
pula bila nilai PSA > 10 mg/ml.
2. Pemeriksaan
Radiologis
Pemeriksaan yang biasa
dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi intravena, USG dan sitoskopi.
Dengan tujuan untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi
buli– buli dan volume residu urine, mencari kelainan patologi lain, baik yang
berhubungan maupun yang tidak berhubungan dengan BPH. Dari semua jenis
pemeriksaan dapat dilihat:
a. Dari
foto polos dapat dilihat adanya batu pada batu traktus urinarius, pembesaran
ginjal (hidronefrosis) atau divertikulum kandung kemih. Kalau dibuat fotot
setelah miksi dapat dilihat sisa urin. Pembesaran prostat dapat dilihat sebagai
lesi defek isian kontras pada dasar kandung kemih. Secara tidak langsung
pembesaran prostat dapat diperkirakan apabila dasar buli-buli pada gambaran
sistogram tampak trangkat atau ujung distal ureter membelok ke atas berbentuk
seperti mata kail. Apbila fungsi ginjal buruk sehingga ekskresi ginjal kurang
baik atau penderita sudah dipasang kateter menetap dapat dilakukan sistogram
retrograd.
b. Dari
pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal,
hidronefrosis dan hidroureter, fish hook appearance (gambaran ureter
belok–belok di vesika)
c. USG
dapat dilakukan transabdominal atau transektal
dapat diperkirakan besaran
(transectal ultrasonography, TRUS).
Selain untuk mngetahui pembesaran prostat, pemeriksaan ini juga dapat
menentukan volume buli-buli, mengukur sisa urin dan keadaan patologi lain
seperti divertikulum, tumor dan batu. Dengan USG transektal, dapat diukur besar
prostat untuk menentukan jenis terapi yang tepat. Perkiraan besar prostat dapat
pula dilakukan dengan USG suprapubik, CT Scan atau MRI jarang dilakukan.
d. Pemeriksaan
sistografi dilakukan apabila pada anamnesa di temukan hematuria atau pada
pemeriksaan urin ditemukan mikrohematuria. Pemeriksaan untuk ini dapat memberi
gambaran kemungkinan tumor di dalam kandung kemih atau seumber perdarahan dari
atas bila darah darah datang dari muara ureter , atau batu radiolusen didalam
vesika. Selain itu sistoskopi dapat juga memberi keterangan mengenai besar
prostat dengan mengukur panjang uretra pars prostatika dan melihat penonjolan
prostat ke dalam uretra.
J.
PENATALAKSANAAN
Terapi non bedah dianjurkan bila WHO PSS (dalam
pengkajian) tetap di bawah 15. Untuk itu dianjurkan melakukan kontrol dengan
menentukan WHO PSS. Terapi bedah dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila
timbul obstruksi.
Di dalam praktek pembagian besar prostat derajat
I-IV digunakan untuk menentukan cara penanganan. Penanganan BPH berdasarkan
derajatnya adalah sebagai berikut :
1. Derajat
I, biasanya belum memerlukan tindakan bedah diberikan pengobatan konservatif
misalnya dengan penghambat adrenoreseptor alfa seperti alafazosin, prazosin,
terazosin, dan tamsulosin. Keuntungan obat penghambat adrenosepror alfa ialah efek positif segera terhadapa keluhan,
tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasia prostat sedikitpun. Kekurangannya
ialah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
2. Derajat
II, merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan. Biasanya dianjurkan reseksi
endoskopik melaui uretra (trans urethral resection, TUR).
Mortalitas TUR sekitar 1% dan morbiditas sekitar 8%. Kadang derajat dua dapat
dicoba dengan pengobatan konservatif.
3. Derajat
tiga, reseksi endoskopik dapat dikerjakan oleh pembedah yang cukup
berpengalaman. Apabila diperkirakan prostat cukup besar sehingga reseksi tidak
akan selesai dalam satu jam, sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka.
4. Derajat
IV tindakan pertama yang harus segera dikerjakan ialah membebaskan penderita
atu sistostomi. Setelah itu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi
diagnosis, kemudianterapi definitif dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Jenis-jenis pembedahan
dibagi menjadi empat yaitu :
1. Prostatektomi
suprapubis transevesikal
Adalah salah satu
metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen bagian bawah dibuat melalui
leher kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas. Diperlukan perban
luka, drainase, kateter foley, dan kateter suprapubis setelah operasi.
2. Prostatektomi
perineal.
Adalah mengangkat
kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Vasektomi biasanya dikakukan
sebagai pencegahan epididimistis. Cara ini lebih praktis dibanding cara yang
lain, dan sangat berguna untuk biopsi terbuka.. Keuntungan yang lain memberikan
pendekatan anatomis langsung, drainage oleh bantuan gravitasi, efektif untuk
terapi kanker radikal, hemostatik di bawah penglihatan langsung,angka
mortalitas rendah, insiden syok lebih
rendah, serta ideal bagi pasien dengan prostat yang besar, resiko bedah buruk
bagi pasien sangat tua dan ringkih. Pada pasca operasi luka bedah mudah
terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dengan rektal. Lebih jauh lagi
inkontinensia, impotensi, atau cedera rectal dapat mungkin terjadi dari cara
ini. Kerugian lain adalah kemungkinan kerusakan pada rectum dan spingter
eksternal serta bidang operatif terbatas. Persiapan buang hajat diperlukan sebelum
operasi (pembersihan perut, enema, diet rendah sisa dan antibiotik). Setelah
operasi balutan perineal dan pengeringan luka (drainase) diletakan pada
tempatnya kemudian dibutuhkan rendam duduk.
3. Prostatektomi
retropubik.
Adalah suatu teknik
yang lebih umum dibanding pendekatan suprapubik dimana insisi abdomen lebih
rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa
memasuki kandung kemih. Prosedur ini cocok untuk kelenjar besar yang terletak tinggi
dalam pubis. Meskipun darah yang keluar dapat dikontrol dengan baik dan letak
bedah lebih mudah untuk dilihat, infeksi dapat cepat terjadi dalam ruang
retropubis. Kelemahan lainnya adalah tidak dapat mengobati penyakit kandung
kemih yang berkaitan serta insiden hemoragi akibat pleksus venosa prostat
meningkat juga osteitis pubis. Keuntungan yang lain adalah periode pemulihan lebih
singkat serta kerusakan spingter kandung kemih lebih sedikit.
4. Insisi
Prostat Transuretral ( TUIP )
Yaitu suatu prosedur
menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen melalui uretra. Satu atau dua
buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi tekanan
prostat pada uretra dan mengurangi kontriksi uretra. Cara ini diindikasikan
ketika kelenjar prostat berukuran kecil ( 30 gram/kurang ) dan efektif dalam
mengobati banyak kasus BPH. Cara ini dapat dilakukan di klinik rawat jalan dan
mempunyai angka komplikasi lebih rendah di banding cara lainnya.
5. TURP
( TransUretral Reseksi Prostat )
TURP adalah suatu
operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan resektroskop. TURP
merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai efek merugikan terhadap
potensi kesembuhan. Operasi ini dilakukan pada prostat yang mengalami pembesaran
antara 30-60 gram, kemudian dilakukan reseksi. Cairan irigasi digunakan secara terus-menerus
dengan cairan isotonis selama prosedur. Setelah dilakukan reseksi, penyembuhan
terjadi dengan granulasi dan reepitelisasi uretra pars prostatika.
Setelah dilakukan TURP,
dipasang kateter Foley tiga saluran no. 24 yang dilengkapi balon 30 ml, untuk
memperlancar pembuangan gumpalan darah dari kandung kemih. Irigasi kanding
kemih yang konstan dilakukan setelah 24 jam bila tidak keluar bekuan darah
lagi. Kemudian kateter dibilas tiap 4 jam sampai cairan jernih. Kateter dingkat
setelah 3-5 hari setelah operasi dan pasien harus sudah dapat berkemih dengan
lancar. TURP masih merupakan standar emas. Indikasi TURP ialah gejala-gejala
dari sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 60 gram dan pasien cukup
sehat untuk menjalani operasi. Komplikasi TURP jangka pendek adalah perdarahan,
infeksi, hiponatremia atau retensio oleh karena bekuan darah. Sedangkan
komplikasi jangka panjang adalah striktura uretra, ejakulasi retrograd
(50-90%), impotensi (4-40%). Karena pembedahan tidak mengobati penyebab BPH,
maka biasanya penyakit ini akan timbul kembali 8-10 tahun kemudian.
Selain
dengan jalan pembedahan pengobatan BPH juga dapat dilakukan pengobatan
konservatyaitu dengan pemberian obat antiandrogen yang menekan produksi LH.
Kesulitan pengobatan konservatif ialah menetukan berapa lama obat harus
diberikan dan efek samping obat.
Pengobatan
lain yang invasif minimal ialah pemansan prostat dengan gelombang mikro yag
disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang pada ujung kateter.
Dengan cara yang disebut transutheral
microwave thermotheraphy (TUMT) ini, diperoleh hail perbaikan kira-kira 75%
untuk gejala obstruktif.
Pada
penanggulangan invasif minimal lain yang disebut transutheral ultrasound guided lase induced prostatectomy (TULIP)
digunakan cahaya laser. Dengan cara ini diperoleh juga hasil yang cukup memuaskan.
Uretra
di daerah uretra juga dapat didilatasi dengan balon yang dikembangkan di
dalamnya (transutheral balloon dilatation,
TUBD). TUBD ini biasanya memberikan perbaikan yang bersifat sementara.
K.
PENGKAJIAN
1. Identitas
Pasien
Nama, umur, jenis
kelamin, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, nomor register, tanggal masuk, dan
nama penanggung jawab pasien elama dirawat.
2. Keluhan
utama
Alasan spesifik, untuk
kunjugan ke klinik atau rumah sakit
3. Riwayat
penyakit sekarang
Keluhan utama dari
awitan paling awal sampai perkembangannya saat ini. Terdapat komponen utama
yaitu: rincian awitan, riwayat interval yang lengkap, status saat ini, alasan
untuk mencari bantuan saat ini.
4. Riwayat
penyakit dahulu
Apakah pernah dirawat
di rumah sakit sebelumnya dengan penyakit yang sama atau berbeda
5. Riwayat
penyakit keluarga
Apakah ada didalam
keluarga ada salah satu anggota yang menderita penyakit yang sama aatu penyakit
keturunan lainnnya seperti hipertensi, jantung. DM
6. Pengkajian
head toe toe
a
Sistem kardiovaskuler
Pada kasus BPH sering
dijumpai adanya gangguan sirkulasi; pada kasus preoperasi dapat dijumpai adanya
peningkatan tekanan darah yang disebabkan oleh karena efek pembesaran ginjal.
Penurunan tekanan darah; peningkatan nadi sering dijumpai pada. kasus
postoperasi BPH yang terjadi karena kekurangan volume cairan. Hipovolemia paling sering ditemukan
karena perdarahan, muntah, diare atau asupan kurang.
b
Sistem pernapasan
Pada pasien yang
dilakukan tindakan bedah perlu dikaji bagaimana pola napasnya sebab anastetik
mengibah pola napas normal dan menghambat mekanisme pertukaran gas. Selama
anastesi dapat terjadi takipnea atau apnea. Jika terjadi takipnea, isi alun
napas (tidal volume) angat menurun dan ventilasi alveolar juga menurun sehingga
menyebabkan asidosis respiratorik. Distensi perut pascabedah dapat menghalangi
pernapasan , terutama pada sikap berbaring. Pasien usia lanjut cebderung
menderita hiposia pasca bedah. Penrunan olsigenais ke jaringan juga disebabkan
oleh hipotensi , hipovolemia atau anmeia berat. Epside hiposia ini dapat
terjadi selama 72 jam pasca bedah.
c
Sistem perkemihan
Gangguan eliminasi
merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh pasien dengan preoperasi,
perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran urin, aliran urin berkurang,
pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi berkemih, nokturia, disuria dan
hematuria. Sedangkan pada postoperasi BPH yang terjadi karena tindakan invasif
serta prosedur pembedahan sehingga perlu adanya obervasi drainase kateter untuk
mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna
urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada
bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan bekuan
d
Sistem pencernaan
Selain terjadi gangguan
eliminasi urin, juga ada kemugkinan terjadinya konstipasi. Pada preoperasi BPH
hal tersebut terjadi karena protrusi prostat ke dalam rektum, sedangkan pada
postoperasi BPH, karena perubahan pola makan dan makanan. Terganggunya sistem
pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek penekanan/nyeri pada abomen (pada
preoperasi), maupun efek dari anastesi pada postoperasi BPH, sehingga terjadi
gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan, tindakan yang perlu
dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya.
e
Sistem persarafan
Pada prostatektomi
perineal dapat menyebabkan impotensi akibat kerusakan saraf pudendal yang tidak
dapat dihindari).
f
Sistem muskuloskeletal
Tirah baring yang
terlalu lama pada paska beda dapat menyebbakan deosifikasi pada tulang penumpu
beban yang menjurus kepada osteoporosis, penurunan mass ada kekuatan otot.
Tirah baring yang terlalu lama dapat menyebbakan penurunan otot sebesar 10-15%
setiap minggu.
g
Sistem integumen
Kerusakan gangguan
integeritas kulit dapat terjadi karena adanay luka operasi. Luka operasi dapat
mengalami dehisiensi atau infeksi. Faktor penyebab dehisiensi adaalh perdarahan
(hemostasis kurang sempurna), infksi luka, jahitan kurang baik dan tehnik
operasi kurang baik. Faktor penyebba lain adalah keadaan umum kurang baik (hipoalbuminemia),
karsinomatosis dan usia lanjut.
7. Fokus
Pengkajian fungsional
a
Psikososial
Pasien dengan kasus
penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya karena memikirkan bagaimana
akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat dari tanda-tanda seperti kegelisahan,
kacau mental, perubahan perilaku
b
Rasa Aman dan Nyaman
Menurut hierarki
Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan dasar yang utama. Karena
menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada pasien
postoperasi biasanya ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul tajam dan kuat,
nyeri punggung bawah.
8. Pengkajian
laboratorium
Pemeriksaan
laboratorium diperlukan pada pasien preoperasi maupun postoperasi BPH. Pada
preoperasi perlu dikaji, antara lain urin analisa, kultur urin, urologi., urin,
BUN/kreatinin, asam fosfat serum, SDP/sel darah putih. Sedangkan pada
postoperasinya perlu dikaji kadar hemoglobin dan hematokrit karena imbas dari
perdarahan. Dan kadar leukosit untuk mengetahui ada tidaknya infeksi.
L.
DIAGNOSA
KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL
1. Nyeri
berhubungan dengan iritasi mukosa urogenital, distensi kandung kemih, agens
cedera (luka insisi pembedahan)
2. Retensi
urine berhubungan dengan pembsearan prostat, dekompensasi otot destrusor,
sumbatan (gumpalan darah post operasi)
3. Hambatan
mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, program pembatasan gerak
4. Disfungsi
seksual berhubungan dengan efek samping pembedahan
5. Risiko
infeksi berhubungan dengan trauma jaringan (luka insisi), pemasangan kateter
6. Risiko inkontinensi urin refleks berhubungan dengan
pemasangan kateter
M.
INTERVENSI
KEPERAWATAN
NO
|
Dx
Keperawatan
|
Tujuan
|
Intervensi
|
1
|
Nyeri
berhubungan dengan iritasi mukosa urogenital, distensi kandung kemih, agens
cedera (luka insisi pembedahan)
|
NOC
: Pain Level
Pain control
Comfort level
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama …. pasien tidak mengalami nyeri, dengan
kriteria hasil :
·
Mampu mengontrol nyeri (tahu
penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi
nyeri, mencari bantuan)
·
Melaporkan bahwa nyeri berkurang
dengan menggunakan manajemen nyeri
·
Mampu mengenali nyeri (skala,
intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
·
Menyatakan rasa nyaman setelah
nyeri berkurang
·
Tanda vital dalam rentang normal
·
Tidak mengalami gangguan tidur
|
NIC
·
Kaji nyeri PQRST
·
Monitor TTV dan skala nyeri
secara teratur
·
Observasi reaksi non verbal
·
Jelaskan penyebab nyeri
·
Ajarkan teknik relaksasi dan
distraksi
·
Jelaskan pada keluarga peran yang
dapat dilakukan untuk mengurangi nyeri (massage, kompres hangat / dingin, dll)
·
Batasi aktivitas selama periode
nyeri
·
Minimalkan stimuli yang
menyebabkan peningkatan nyeri
Administrasi
analgesik
·
Tentukan lokasi, karakteristik,
kualitas dan derajat nyeri sebelum pemberian analgesik
·
Monitor TTV sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
·
Cek instruksi dokter tentang
jenis obat, dosis dan frekuensi
·
Cek riwayat alergi analgesik
·
Evaluasi aktivitas analgesik
tanda dan gejala (efek samping)
|
2
|
Retensi
urine berhubungan dengan pembesaran prostat, dekompensasi otot destrusor,
sumbatan (gumpalan darah post operasi)
|
NOC:
Urinary elimination
Urinary Contiunence
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama …. retensi urin pasien teratasi dengan
kriteria hasil:
·
Kandung kemih kosong secara
penuh, tak teraba distensi kandung kemih
·
Tidak ada residu urine >100-200
cc
·
Intake cairan dalam rentang
normal
·
Bebas dari ISK
·
Balance cairan seimbang
|
NIC
·
Dorong pasin untuk berkemih tiap
2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan
·
Monitor intake dan output
·
Monitor aliran urine, perhatikan
ukuran dan kekuatan
·
Monitor penggunaan obat
antikolinergik
·
Monitor derajat distensi bladder
·
Monitor hasil laboratorium (BUN,
kraetin, elektrolit)
·
Palpasi are suprapubik
·
Instruksikan pada pasien dan
keluarga untuk mencatat output urine
·
Sediakan privacy untuk eliminasi
·
Stimulasi reflek bladder dengan
kompres dingin pada abdomen.
·
Kateterisasi jika perlu
·
Monitor tanda dan gejala ISK
(panas, hematuria, perubahan bau dan konsistensi urine)
·
Pertahankan irigasi kandung kemih
secara kontinu
·
Kaji haluaran urine dan sistem
kateter/ drainase. Khususya selama irigasi kandung kemih
|
3
|
Hambatan
mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, program pembatasan gerak
|
NOC
:
Mobility Level
Self care : ADLs
Transfer performance
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama….hambatan mobilitas fisik teratasi
dengan kriteria hasil:
·
Klien meningkat dalam aktivitas
fisik
·
Mengerti tujuan dari peningkatan
mobilitas
·
Memverbalisasikan perasaan dalam
meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah
|
NIC
·
Kaji kemampuan pasien dalam
mobilisasi
·
Konsultasikan dengan terapi fisik
tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan
·
Monitoring vital sign
sebelm/sesudah latihan dan lihat respon pasien saat latihan
·
Ajarkan dan dukung pasien dalam
latihan ROM aktif atau pasif untuk mempertahankan atau m
·
Ajarkan pasien tentang teknik
ambulasi
·
Latih pasien dalam pemenuhan
kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai kemampuan
·
Dampingi dan bantu pasien saat
mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs pasien
·
Ajarkan pasien bagaimana merubah
posisi dan berikan bantuan jika diperlukan
·
Berikan penguatan yang positif
selama aktivitas
|
4
|
Disfungsi
seksual berhubungan dengan prosedur pembedahan
|
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama ...pasien tidak mengalami disfungsi
seksual dengan kriteria hasil:
·
Beradaptasi dengan model ekspresi
seksual untuk untuk mengakomodasi prubahan fisik akibat usia atau penyakit
·
Mencapai rangsangan seksual
·
Mengekspresikan penerimaan
terhadap pasangan
|
·
Pantau adanya indikator resolusi
disfungi seksual
·
Konseling seksual :
Ø Awali
pertanyaan tentang seksualitas dengan suatu pernyataan pada pasien bahwa
banyak orang mengalami masalah seksual
Ø Tentukan
seberapa besar rasa bersalah seksual yang berhubungan dengan persepsi pasien
tentang faktor penyebab penyakit tersebut
Ø Diskusikan
dampak penyakit, situasi kesehatan dan obat pada seksualitas jika diperlukan
Ø Diskusikan
pentingnya modifikasi dalam aktivitas seksual, jika diperlukan
Ø Informasikan
kepada pasien bahwa seksualitas merupakan bagian penting dari kehidupan dan
bahwa penyakit, obat dan stres atau
masalah lain sering kali mnegubah fungsi seksual
Ø Libatkan
pasien dana pasangan dalam konseling
Ø Lakukan
perujukan kepada ahli terapi seks jka diperlukan
|
5
|
Risiko
infeksi berhubungan dengan trauma jaringan (luka insisi), pemasangan kateter
|
NOC
:
Immune Status
Knowledge : Infection control
Risk control
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama…… pasien tidak mengalami infeksi dengan kriteria hasil:
·
Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi (tumor, rubor, dolor dan kalor)
·
Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
·
Jumlah leukosit dalam batas
normal
·
Menunjukkan perilaku hidup sehat
·
Status imun, gastrointestinal, genitourinaria dalam batas normal
|
NIC
:
·
Pertahankan teknik aseptif
·
Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan
·
Ganti letak IV perifer dan dressing sesuai dengan petunjuk umum
·
Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing
·
Awasi tanda vital, perhatiakn
demam ringan, menggigil, nadi dan
pernapasan, cepat, gelisah, peka, disorientasi
·
Tingkatkan intake nutrisi
·
Berikan terapi antibiotik:.................................
·
Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
·
Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase
·
Monitor keadaan luka
·
Pastikan tehnik perawatan luka
yang tepat
·
Dorong masukan cairan
·
Dorong istirahat
·
Kaji suhu badan pada pasien neutropenia setiap 4 jam
·
Monitor hitung granulosit dan WBC
·
Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
·
Ajarkan klien dan keluarga
bagaimana mencegah infeksi
|
6
|
Risiko
inkontinensi urin refleks berhubungan dengan pemasangan kateter
|
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama ..jam pasien akan menunjukkan kontinensia urin
dengan kriteria hasil :
·
Menunjukkan prosedur keteter
intermitten mandiri
·
Berkemih > 150 ml setiap kali
berkemih
·
Mempertahnkan pola berkemih yang
dapat diduga
|
·
Kaji kemampuan mengidentifikasi
keinginan untuk berkemih
·
Identifikasi pola berkemih (baik
berkemih stelah asupan tertentu atau berkemih setelah interval tertentu)
·
Pasien yang menjalai kateterisasi
intermitten , pantau warna, bau dan kejernihan urine dan lakukan urinalisis
secara sering untuk memanatu infeksi
·
Untuk pasien yang kateterisasi
urin intermitten
Ø Tentukan
kesiapan dan kemampuan pasien untuk melakukan keteterisasi intermitten
mandiri
Ø Tentukan
jadwal kateterisasi, berdasarkan pola pengkajian berkemih dan rutinitas yang
biasanya
Ø Jika
haluaran urine > 300 ml dicapai (orang dewasa) lakukan kateterisasi secara
lebih sering
·
Ajarkan pasien dan keluarga
tentang tanda dan gejala disrefleksia otonomi yang dapat dilaporkan seperti
hipertensi berat, sakit kepala, berat, diaforesis diatas area cedera,
takikardia awitan mendadak
·
Ajarkan pasien dan keluarga
tentang pelatihan kandung kemih yaitu dengan meningkatkan kemampuan kandung
kemih untuk menahan urine dan kemampuan pasien untuk menekan urinasi
·
Pelatihan kebiasaan berkemih :
Ø Tentukan
interval jadwal eliminasi awal, berdasarkan pola berkemih dan rutinitas yang
biasanya
Ø Bantu
pasien mencapai toliet dan dorong untuk melakukan eliminasi paa interval yang
ditetapkan
Ø Kurangi
interval eliminasi selama setengah jam jika terdapat lebih dari dua episode
inkontinensia selama 24 jam
Ø Tingkatkan
interval eliminasi selama setengah jam jiak pasientidak mengalami episode
inkontinensia dalam 48 jam hingga interval optimal setiap 4 jam dicapai
·
Bantu pasien mempertahankan higiene
dan rutinitas perawatan kulit yang adekuat
(misal : oleskan salep barier lembab, petahankan kulit tetap kering)
·
Pertahankan asupan cairan sekitar
2000 ml/ per hari
|